Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Silaturahmi Intelektual Bersama Prof. Musdah Mulia

Gambar
Lebaran haji tahun ini, terasa istimewa. Saya berkesempatan silaturahmi ke kediaman Prof. Musdah Mulia di Makassar. Rasanya, bukan hanya silaturahmi biasa tetapi lebih sebagai silaturahmi intelektual yang hangat dan membekas. Prof. Musdah berbicara banyak hal. Seperti literasi, agama, budaya, pendidikan, keadilan, dan banyak lagi. Saya senang dengan gaya bertutur Prof. Musdah yang hangat, dan cukup memperkaya pikiran. Salah satu hal yang kami bincangkan adalah soal gelar akademik. Di Indonesia, gelar seolah menjadi jimat. Ia membuka pintu karier, menegaskan status sosial, bahkan menentukan siapa yang layak bicara dan siapa yang layak diam. "Kalau orang bodoh bisa menjadi doktor dan profesor, kenapa orang pintar tidak bisa?" Kata Prof. Musdah. Kalimat itu tak dimaksudkan sebagai cemoohan, melainkan sebagai dorongan. Bahwa ilmu dan gelar tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi disinergikan. Bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh berpikir, seharusnya juga mengambil posisi penti...

Budaya Healing: Antara Cinta Diri dan Komodifikasi Luka

Gambar
Langit sedang mendung ketika saya selesai mengisi seminar diskusi di suatu cafe di Makassar. Saya tidak langsung pulang. Saya lalu duduk di meja yang kosong sambil memesan hidangan yang cocok di saat cuaca mendung. Sembari melanjutkan buku bacaan saya, di meja sebelah, sepasang anak muda sedang asyik bercakap sambil memegang buku dengan sampul bergambar perempuan bersayap, berjudul The Art of Healing. Mereka tertawa kecil, lalu memotret kopi mereka, dan akhirnya swafoto dengan caption, "healing dulu ya." Saya hanya tersenyum. Bukan karena sinis, tetapi karena saya paham bahwa kita semua, mungkin tanpa terkecuali, sedang dalam proses pemulihan. Ada luka yang tidak selesai di masa kecil. Ada tekanan kerja, kehilangan orang tercinta, atau sekadar rasa lelah eksistensial yang tak bisa diberi nama. Kita mencari-cari kata yang tepat, dan akhirnya "healing" menjadi jawaban generik yang diterima oleh publik. Namun demikian, saya bertanya dalam hati. Apa sebenarnya yang s...

Tuhan, Tradisi, dan Kartini: Renungan Seorang Perempuan

Gambar
Hari masih pagi, ketika saya sedang duduk di beranda rumah di kampung, sembari berbincang lewat telepon dengan seorang teman di Jepara, tempat kelahiran Kartini. Hujan baru saja reda, cuaca sangat dingin, lalu sesekali saya meneguk teh hangat yang baru saja kuseduh. Kami sedang berbincang tentang perempuan, pendidikan, dan tradisi. Tiba-tiba saja ia mengirim pesan gambar via WhatsApp. Rupanya secarik kertas berisi kutipan dari surat Kartini (1879–1904) kepada sahabatnya, Abendanon (1870–1948). Tertulis dalam kutipannya: "Habis gelap terbitlah terang. Aku ingin perempuan menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menjadi istri atau ibu." Saya membacanya, lalu terdiam lama. Kalimat itu begitu ringkas, namun membuka lubang-lubang panjang dalam pikiran saya. Kartini bukan sekadar sosok sejarah. Tetapi ia adalah suara dalam diri saya yang sejak lama bergema samar, sering tenggelam oleh kebisingan dogma dan batas-batas yang diwariskan. Nama itu selalu datang dan pergi, seperti udara y...

Luka di Balik Kekuasaan: Membaca Budaya Kekerasan Seksual di Indonesia

Gambar
Saya punya kebiasaan ketika selesai mengisi seminar diskusi, tidak segera meninggalkan lokasi diskusi. Saya memilih tinggal beberapa saat untuk melanjutkan diskusi bersama peserta forum dalam suasana yang lebih santai. Di antara mereka ada yang curhat, ada juga yang meminta kontak untuk bisa berdiskusi secara lebih personal. Hari itu, saya memberikan materi tentang keadilan gender dalam sebuah forum akademik kecil di Makassar. Seperti biasa, bicara soal perempuan membuat isi kepala saya dipenuhi cerita-cerita miris yang dibagikan peserta. Kisah tentang pelecehan di rumah oleh ayah atau paman sendiri, di kampus oleh oknum dosen, di rumah sakit oleh dokter, kekerasan di tempat kerja, guru mengaji terhadap santrinya, antar teman, antar mahasiswa, dan sebagainya. Forum telah usai, sembari melanjutkan diskusi santai, di meja paling sudut, ada dua mahasiswi tampak membicarakan sesuatu dengan suara sangat pelan. Saya tidak berniat menguping, namun satu kalimat yang terdengar membuat saya melo...

Ketika Ibadah Menjadi Konten: Puasa Ramadan di Era Digital

Gambar
Sejak kecil, Ramadan bagi saya selalu terasa lebih tenang. Setelah sahur, saya senang menikmati udara subuh yang masih sejuk. Tidak ada kebisingan, tidak ada kesibukan. Hanya langit yang perlahan terang dan suasana yang hening nan damai. Di siang hari, semuanya berjalan lebih pelan. Saya lebih banyak membaca Al-Qur'an, berhenti sebentar, lalu membaca lagi. Tidak ada yang tergesa-gesa. Ramadan selalu memberi ruang untuk diam, berpikir, dan menikmati waktu yang berjalan lebih lambat. Tetapi, Ramadan hari ini terasa berbeda. Ia tidak lagi menawarkan hening dan ketenangan, tetapi justru menjadi momen yang ramai dalam ruang digital. Setiap kali membuka ponsel, selalu saja ada sesuatu yang muncul. Entah itu kutipan ayat dengan font estetik, potongan ceramah yang diedit dramatis, unggahan menu sahur dan berbuka yang disusun seindah mungkin, bahkan dokumentasi shalat tarawih dengan latar musik yang melankolis. Ramadan hari ini bukan hanya soal menjalani, namun juga soal mencitrakan bahwa k...

Tren Minimalisme: Seni Mengatur Hasrat dan Merayakan Kesederhanaan

Gambar
Sejak dulu, saya selalu tertarik mengamati bagaimana manusia menjalani hidupnya. Sebagian mereka memilih untuk terus mengejar lebih banyak, sebagian lagi memilih untuk melepaskan. Ada yang mengisi hari-harinya dengan tumpukan ambisi dan kesibukan, lalu ada juga yang perlahan memisahkan diri dari riuhnya dunia, sembari mencari makna dalam kesunyian. Pernah suatu hari, saya sedang duduk di kantin kampus. Seorang teman yang sudah lama tidak saya jumpai datang menghampiri. Percakapan kami melebar dari kenangan lama hingga ke perbincangan soal hidup yang semakin penuh dengan tuntutan. Ia lalu berkata, "Hidup ini memang lucu ya, semakin banyak yang kita miliki, semakin sering kita merasa kehilangan." Pernyataannya membuat saya diam cukup lama. Ada benarnya juga, bahwa semakin kita menumpuk harta, benda, pengalaman, bahkan pencapaian, justru semakin sering kita merasa kosong. Seakan-akan dalam upaya untuk mengisi hidup, kita malah kehilangan esensi dari kehidupan itu sendiri. Tren m...

Di Ambang Luka Kemanusiaan: Palestina dalam Narasi Ketidakadilan

Gambar
Saya sering bertanya pada diri sendiri. Seberapa jauh perasaan harus diseret agar seseorang bisa menjadi manusia? Seberapa panjang jalan menuju kemanusiaan yang harus kita tapaki dalam luka yang dibentangkan sejarah, saban waktu, tanpa jeda? Nama Palestina hadir bukan sekadar sebagai nama tempat, tetapi sebagai luka purba yang belum juga sembuh, bahkan ketika waktu mencoba menyembunyikannya di sela-sela berita dan meja-meja diplomasi. Setiap kali membuka linimasa, kita berjumpa wajah-wajah anak kecil yang memegang batu dengan tangan mungil mereka, gedung-gedung runtuh dengan asap mengepul, dan perempuan-perempuan yang meratap di antara puing. Mereka memang tidak berbicara. Tetapi tubuh mereka yang luka, mata mereka yang basah, dan tanah yang mereka pijak telah bercerita banyak hal. Mereka menjadi pengingat bahwa penderitaan bukanlah cerita usang yang selesai diceritakan. Mereka adalah nyawa yang terus menanti pembelaan. Kita menyebut mereka Palestina. Tetapi, cukupkah hanya dengan meny...