Silaturahmi Intelektual Bersama Prof. Musdah Mulia
Lebaran haji tahun ini, terasa istimewa. Saya berkesempatan silaturahmi ke kediaman Prof. Musdah Mulia di Makassar. Rasanya, bukan hanya silaturahmi biasa tetapi lebih sebagai silaturahmi intelektual yang hangat dan membekas.
Prof. Musdah berbicara banyak hal. Seperti literasi, agama, budaya, pendidikan, keadilan, dan banyak lagi. Saya senang dengan gaya bertutur Prof. Musdah yang hangat, dan cukup memperkaya pikiran.
Salah satu hal yang kami bincangkan adalah soal gelar akademik. Di Indonesia, gelar seolah menjadi jimat. Ia membuka pintu karier, menegaskan status sosial, bahkan menentukan siapa yang layak bicara dan siapa yang layak diam. "Kalau orang bodoh bisa menjadi doktor dan profesor, kenapa orang pintar tidak bisa?" Kata Prof. Musdah.
Kalimat itu tak dimaksudkan sebagai cemoohan, melainkan sebagai dorongan. Bahwa ilmu dan gelar tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi disinergikan. Bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh berpikir, seharusnya juga mengambil posisi penting dalam dunia akademik, agar ruang itu tidak sepenuhnya dikuasai oleh mereka yang hanya pandai beradministrasi.
Sudah terlalu banyak kasus di negeri ini, di mana pemikir besar dan cendekiawan mumpuni, bahkan seorang filsuf sekalipun seperti Prof. Gadis Arivia, tersingkir atau tidak mendapatkan tempat yang layak di perguruan tinggi negeri hanya karena persoalan administratif. Fenomena semacam ini mencerminkan betapa dunia akademik kita masih lebih tunduk pada regulasi birokratis ketimbang membuka diri pada kualitas pemikiran yang otentik.
Mungkin ada benarnya juga. Bahwa selama ini, kita menyaksikan banyak orang yang punya gagasan kuat, tulisan tajam, dan pemikiran jernih, tetapi tidak mendapat tempat di dunia akademik karena terbentur urusan administratif. Padahal, ilmu seharusnya tumbuh dari semangat berpikir, dan bukan hanya dari kelengkapan berkas.
Saya lalu membayangkan, bahwa alangkah baiknya jika kampus bisa menjadi ruang yang lebih terbuka bagi mereka yang memang sungguh-sungguh mencintai pengetahuan, agar dunia akademik kita tidak hanya diisi oleh mereka yang pandai mengikuti aturan, namun juga oleh mereka yang setia mencari makna.
Lebih lanjut, perbincangan berpindah ke pendidikan. Pendidikan, kata Prof. Musdah, adalah akar dari segalanya. Tetapi, akar itu kian hari makin rapuh jika rasionalitas tidak ditanamkan sejak dini. Ia menekankan pentingnya membangun nalar kritis pada anak-anak, bahkan sejak mereka mulai mengenal kata dan makna.
Pendidikan agama, menurutnya, harus menjadi pintu menuju permenungan, dan bukan pagar pembatas yang menakutkan. Agama, dalam pemahaman beliau, bukan kumpulan larangan yang menakut-nakuti, tetapi lebih sebagai ruang spiritual yang menumbuhkan kedalaman berpikir dan kelembutan hati.
Saya lalu membayangkan wajah-wajah kecil di sekolah dasar. Mata mereka yang polos, pikiran mereka yang masih jernih, keingintahuan mereka yang tulus. Apakah mereka diberi ruang untuk bertanya? Apakah mereka tahu bahwa bertanya adalah tanda cinta kepada ilmu, dan bukan tanda kurang ajar? Rasionalitas yang dimaksud Prof. Musdah bukanlah dingin dan kaku, melainkan cara mencintai dunia dengan penuh kesadaran. Sebuah cinta yang berpijak pada nalar dan nurani sekaligus.
Lalu, Prof. Musdah juga bercerita tentang perjalanan hidupnya. Bukan sebagai kisah heroik, melainkan sebagai alur yang mengalir dari satu keinginan kecil ke cita-cita besar. Ia menjadi profesor di usia yang cukup muda, 39 tahun. Angka yang bagi sebagian orang mungkin hanya statistik, tetapi bagi beliau adalah hasil dari ketekunan membaca, disiplin menulis, dan keberanian untuk terus belajar tanpa henti. Ia tidak pernah merasa sudah selesai.
Kami juga berbicara tentang rendahnya tingkat literasi di negeri ini. Bukan sekadar statistik, tetapi lebih sebagai kegagalan kolektif kita dalam membangun relasi yang sehat dengan pengetahuan. Sekolah dan kampus, menurut beliau, terlalu sering menjadikan membaca sebagai kewajiban, dan bukan sebagai kebutuhan.
Padahal, membaca bisa menjadi ruang hening tempat manusia bertemu dengan dirinya sendiri. Membaca bukan hanya soal menyerap informasi, tetapi lebih untuk menyelami kehidupan orang lain, meraba kedalaman emosional, dan meniti makna yang lebih halus. Karena membaca, ketika didekati dengan cinta, maka ia bisa menjadi praktik spiritual yang membebaskan.
Lalu kemudian, Prof. Musdah juga bercerita tentang perjalanan intelektualnya berbagi pengetahuan di kampus-kampus dunia. Ia menyebut tempat-tempat yang dulu hanya saya kenal dari peta atau berita: New York, Tokyo, London, Kairo, Tehran, dan banyak lagi. Namun setiap kota, bagi beliau, bukan sekadar destinasi, melainkan dialog.
Di sana, Prof. Musdah membawa wajah Islam yang lembut, cerdas, dan penuh welas asih. Ia menghadiri seminar, membawakan makalah, mendengarkan dan sekaligus didengarkan. Perjalanan itu, kata beliau, sungguh menyenangkan, dan menjadi bagian dari lintasan ruhani, menyeberangi batas-batas geografis dan ideologis, untuk merawat nilai-nilai universal kemanusiaan.
Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.



Komentar
Posting Komentar