Akar Metafisis dari Bencana Alam: Perspektif Epistemologi Irfani
Proses kehidupan yang sering kali diterpa bencana, Indonesia menjadi saksi dari deretan peristiwa yang menunjukkan betapa rapuhnya struktur sosial manusia saat berhadapan dengan gejolak alam. Dalam setahun terakhir (2024), data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 1.942 peristiwa bencana alam yang melanda nusantara.
Mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting beliung, hingga gempa bumi dan pergerakan tanah. Tidak kurang dari 5,6 juta jiwa terdampak, menghadapi kenyataan pahit kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, bahkan anggota keluarga tercinta. Fenomena ini, seperti banjir rutin di Makassar akibat luapan Sungai Tallo dan Jeneberang, bukan sekadar statistik, tetapi manifestasi dari relasi manusia dengan ekosistemnya.
Di satu sisi, perkembangan kota yang pesat sering kali mengorbankan daya dukung lingkungan. Di sisi lain, bencana memaksa kita untuk merenungkan ulang hubungan tersebut. Dalam konteks ilmiah, bencana tidak semata-mata terjadi karena dinamika alam, tetapi juga akibat dari ketimpangan tata kelola ruang, degradasi lingkungan, dan lemahnya mitigasi.
Pertanyaan yang perlu diajukan bukan sekadar bagaimana menanggulangi dampaknya, melainkan apakah kita benar-benar memahami akar dari setiap bencana yang terjadi? Bencana merupakan refleksi dari keseimbangan yang terganggu, suatu panggilan untuk meninjau ulang cara manusia membangun, berinteraksi, dan hidup di atas bumi yang terus berubah.
Apa Sebenarnya Makna dari Bencana?
Kita sering kali mengartikan bencana sebagai peristiwa yang menghancurkan kehidupan manusia. Tetapi, pemahaman ini sejatinya kurang tepat. Karena tanpa keterlibatan manusia, fenomena alam hanyalah bagian dari dinamika kosmos, siklus yang wajar dalam proses perjalanan alam semesta.
Gunung meletus di tengah hutan yang jauh dari pemukiman, misalnya, itu bukanlah bencana. Ia hanyalah cara alam menata ulang dirinya, menyuburkan tanah, dan memulai kembali ekosistem yang baru. Tetapi, ketika manusia membangun rumah di lereng gunung atau memadati aliran sungai yang rawan banjir, maka dampak dari fenomena tersebut berubah menjadi bencana.
Dengan demikian, makna bencana tidak terletak pada peristiwa alam itu sendiri, melainkan pada interaksi manusia dengan alam. Fenomena alam menjadi bencana ketika manusia terdampak, ketika ada korban, kehancuran, atau kehilangan. Dan sering kali, bencana merupakan refleksi dari tindakan kita sendiri.
Misalnya, karena tata ruang yang salah, lemahnya mitigasi, eksploitasi berlebihan, atau ketidakpedulian terhadap lingkungan. Maka kita seharusnya melihat bencana sebagai pelajaran, bukan sekadar ancaman. Karena, sejatinya, bencana tidak hanya terjadi karena alam, tetapi juga karena kita gagal hidup selaras dengannya.
Apa Penyebab Terjadinya Bencana Alam?
Penyebab bencana sering kali dikaitkan dengan persoalan teknis. Misalnya, perencanaan tata kota yang buruk, infrastruktur yang rapuh, atau tekanan populasi yang memaksa manusia tinggal di wilayah rawan. Tetapi, ada dimensi yang lebih mendalam yang sering kali kita abaikan, yaitu cara manusia dalam memandang alam.
Filsuf kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, yang fokus mengkaji hubungan manusia, alam, dan Tuhan, mengatakan bahwa akar dari banyak persoalan ekologis adalah krisis spiritual. Kita sering kali memandang alam sebagai sesuatu yang bisa dieksploitasi tanpa batas, alih-alih bagian dari kesatuan kosmos yang mesti kita jaga.
Dalam bukunya, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, Nasr menegaskan bahwa "Krisis ekologi dewasa ini merupakan krisis spiritual manusia modern." Bagi Nasr, degradasi lingkungan tidak sekadar masalah teknis, melainkan berakar pada kerenggangan manusia dari nilai-nilai spiritual yang semestinya menjadi pijakan dalam memperlakukan alam.
Nasr, dalam kritiknya yang tajam terhadap ilmu pengetahuan modern, menyoroti bagaimana tradisi ilmiah Barat telah tercerabut dari akar filosofis dan spiritualnya. Akibatnya, alam dipandang semata-mata sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Bagi Nasr, kita semestinya kembali ke cara pandang tradisional, di mana alam dilihat sebagai bagian dari kesatuan kosmos yang sakral, yang tak hanya mesti dijaga tetapi juga dihormati.
Dengan demikian, kita mesti melakukan refleksi ulang bahwa, bencana bukan hanya soal teknis ataupun geografis, tetapi juga soal hubungan manusia dengan alam. Ia adalah pengingat bahwa kita perlu mengubah cara kita memahami keberadaan. Bukan sebagai penguasa alam, tetapi sebagai bagian dari harmoni yang lebih besar.
Apa Kritik Seyyed Hossein Nasr Terhadap Bencana Alam?
Nasr mengatakan bahwa bencana alam sejatinya cerminan dari cara manusia memahami dan mengelola hubungan mereka dengan alam. Menurutnya, tradisi modern atau modernitas, dengan seluruh orientasi materialistiknya, telah memutus ikatan spiritual antara manusia dan alam.
Modernitas tidak hanya menggeser paradigma manusia terhadap alam, tetapi juga mereduksi alam dari entitas yang sakral menjadi objek yang semata-mata dapat dikuasai dan dieksploitasi. Dalam buku yang sama, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, 1968, Nasr mengatakan bahwa, "Dalam masyarakat tradisional, alam dipandang sebagai istri seseorang, tetapi Barat modern mengubahnya menjadi pelacur."
Mungkin yang dimaksud Nasr dalam pernyataan di atas, bahwa alam dalam tradisi tradisional dianggap sebagai pasangan hidup yang mesti dipelihara dan dilindungi. Berbeda dengan paradigma modern yang memperlakukan alam seperti pelacur, sesuatu yang bisa diperas manfaatnya tanpa memperhatikan akibat jangka panjang yang ditimbulkan.
Menurut Nasr, modernitas dengan segala kemajuan teknologinya telah menempatkan manusia dalam posisi yang jauh dari kedudukan asalnya sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam. Dengan kata lain, modernitas lebih mengutamakan kontrol atas alam, sedangkan tradisi tradisional mengajarkan keterhubungan terhadap alam sebagai bagian dari karya Tuhan yang suci.
Dalam konteks ini, saya bersepakat dengan pandangan Nasr, bahwa modernitas memang membawa sisi gelap yang jarang kita sadari. Kemajuan teknologi dan ekonomi yang begitu diagungkan justru memicu kerusakan lingkungan dan menghancurkan ekosistem. Mungkin teknologi tidak sepenuhnya salah, karena ia adalah buah dari kecerdasan manusia.
Tetapi, persoalan mendasarnya ada pada orientasi materialistik yang menjadi pemicu utama perkembangan teknologi itu. Ketika teknologi hanya diarahkan untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, tanpa memperhatikan keberlanjutan dan harmoni ekologis, maka hasilnya adalah kerusakan yang tak terelakkan. Bagi Nasr, inilah persoalan inti dari modernitas, kemajuan yang sekaligus mempertontonkan ketidak-seimbangan alam.
Pertanyaannya, apa solusi yang bisa ditawarkan? Tentu saja, bukan dengan menghentikan penggunaan teknologi, tetapi dengan mengubah cara kita mengembangkan dan memanfaatkannya. Teknologi seharusnya tidak lagi menjadi alat untuk menguasai alam, tetapi mesti dikembangkan dengan prinsip-prinsip etika yang menjaga keseimbangan alam. Teknologi, Bagi Nasr, bisa saja menjadi jalan untuk menciptakan harmoni kosmos, asalkan digunakan dalam kerangka pandang yang memahami keterkaitan manusia, alam, dan Tuhan.
Bagaimana Epistemologi Irfani Mempersepsi Alam Semesta?
Lebih jauh, Nasr mengajak kita untuk melihat alam dalam kerangka epistemologi irfani, yang memandang alam sebagai ayat atau tanda kebesaran Tuhan. Pendekatan ini tidak melihat alam semata sebagai objek mati yang dapat dieksploitasi, melainkan sebagai sebuah entitas hidup yang menyimpan kebijaksanaan serta makna yang mendalam. Dalam tradisi irfani, manusia ditempatkan sebagai khalifah, pemegang amanah Ilahiah untuk menjaga keseimbangan alam. Tanggung jawab ini bukan hanya tentang pemanfaatan sumber daya, tetapi lebih pada bagaimana menjaga harmonitas kosmis.
Epistemologi irfani mengajarkan bahwa alam bukanlah sesuatu yang sekadar hadir untuk dipakai atau dimanfaatkan. Ia adalah sahabat spiritual yang mengiringi perjalanan manusia, yang mengingatkan kita akan eksistensi Tuhan dan menuntun kita untuk merenungi posisi kita dalam semesta ini. Karena itu, hubungan manusia dengan alam mesti bersifat sakral, menuntut rasa hormat, tanggung jawab, dan kesadaran mendalam akan tugas manusia sebagai penjaga keseimbangan ciptaan. Dengan begitu, alam akan berperan sebagai cerminan Tuhan, bukan sebagai entitas yang bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Dalam hal ini, Nasr menawarkan perspektif yang berbeda dari pandangan materialistik modern. Dalam tradisi irfani, hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang penuh cinta dan tanggung jawab. Alam tidak hanya memberikan manfaat bagi manusia, tetapi juga mengajarkan kita kebijaksanaan dan harmoni. Alam adalah ruang suci yang mengingatkan kita pada kebesaran Tuhan dan mengajak kita untuk merefleksikan eksistensi kita di dunia ini. Ketika manusia melupakan dimensi spiritual ini, maka ia akan melihat alam sebagai objek yang bisa dimanfaatkan tanpa batas, yang pada akhirnya membawa pada kehancuran ekologis dan spiritual.
Tentang krisis ekologis yang kita hadapi saat ini, saya sepakat dengan Nasr, bahwa ini bukanlah semata-mata akibat dari pertumbuhan teknologi atau meningkatnya populasi manusia, tetapi lebih merupakan hasil dari hilangnya hubungan harmonis antara manusia dan alam. Bagi Nasr, bencana alam, seperti banjir, gempa, atau kebakaran hutan, adalah akibat dari ketidakharmonisan yang tercipta karena pandangan dunia materialistik yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan eksploitasi tanpa menimbang dampaknya terhadap alam. Dengan kata lain, Nasr mengajak kita untuk kembali merenungkan cara kita memandang alam dan bagaimana kembali membangun relasi kita dengannya.
Tiga langkah yang ditawarkan Nasr untuk menghadapi krisis ekologis saat ini, yaitu: Pertama, kita mesti menghidupkan pendidikan yang memuat nilai-nilai spiritual yang menanamkan penghormatan terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan. Pendidikan mesti menanamkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap alam, bukan hanya sebagai objek yang bisa dimanfaatkan, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang suci dan penuh makna. Kedua, Nasr menyerukan pengembangan teknologi yang berlandaskan pada prinsip etika dan keseimbangan ekosistem dan alam. Teknologi mesti menjadi sarana untuk mencapai harmoni, bukan untuk mengeksploitasi alam. Ketiga, Nasr mengajak kita untuk menghidupkan kembali tradisi kosmos yang menganggap alam sebagai bagian dari kehidupan yang sakral, yang mesti dihormati dan dijaga.
Kesimpulan saya atas pandangan Nasr, bencana alam yang melanda kita sejatinya adalah refleksi dari kehancuran spiritual manusia. Kita telah kehilangan harmoni dengan alam karena terus memandangnya sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Nasr menegaskan, selama cara pandang ini tidak diubah, maka bencana akan terus berulang. Tetapi, jika kita mampu melihat alam sebagai pasangan hidup yang harus dicintai dan dihormati, ada peluang untuk menemukan kembali harmoni yang telah hilang. Alam, menurut Nasr, bukan sekadar ciptaan, melainkan guru yang senantiasa mengajarkan kebesaran Tuhan. Kita perlu belajar mendengarkan alam, agar tidak terus-menerus terperangkap dalam lingkaran kehancuran yang kita ciptakan sendiri.
Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah
Catatan: Esai ini merupakan perluasan dari Tesis saya, yang berjudul: "Signifikansi Epistemologi Irfani bagi Problematika Peradaban Modern (Studi atas Pemikiran Epistemologis Seyyed Hossein Nasr)"

Komentar
Posting Komentar