Tentang Keinginan dan Cara Kita Menghadapinya




Keinginan adalah denyut halus yang membuat manusia selalu merasa hidup. Ia seperti suara kecil dalam dada yang berbisik, "ada sesuatu di luar sana yang mungkin membuatmu lebih utuh."

Suara itu bisa lembut seperti desir angin senja, tetapi bisa juga membahana, menyeret kita ke jalan yang tak selalu kita rancang. Saya pribadi telah lama bergumul dengan suara itu. Bukan untuk mematikannya, melainkan untuk duduk bersamanya, berbincang dalam diam, dan mencoba memahami, apa sebenarnya yang ia inginkan?

Dalam permenungan saya, dua tokoh yang kiranya menarik untuk membahas perihal keinginan ini. Mereka datang dari dua dunia yang berbeda, yaitu Arthur Schopenhauer (1788-1860), sang filsuf pesimis dari Barat, dan Jalaluddin Rumi (1207-1273), sang penyair cinta dari Timur. Schopenhauer berbicara dalam bahasa kehampaan, sementara Rumi menari dengan cahaya. Dan di antara keduanya, saya mencoba merangkai cara untuk mendudukkan keinginan.

Schopenhauer memandang keinginan sebagai sumber utama penderitaan manusia. Dalam karyanya, "The World as Will and Representation", ia menegaskan bahwa sebenarnya dunia ini dikendalikan oleh "kehendak buta" (blind will), yaitu suatu dorongan bawah sadar yang tak pernah puas.

Hidup, bagi Schopenhauer, adalah rantai tanpa akhir dari keinginan dan kekecewaan. Kita menginginkan sesuatu, mencapainya, lalu merasa hampa, lalu menginginkan lagi. Ia lalu menyarankan jalan keluar, yaitu mematikan keinginan. Bahwa satu-satunya cara untuk damai adalah berhenti menginginkan apa pun.

Saya bersetuju dengan Schopenhauer dalam satu hal. Bahwa keinginan memang bisa menjadi sumber penderitaan jika kita tidak menyadari keberadaannya. Banyak luka dalam hidup yang lahir dari dorongan ingin memiliki, ingin diakui, ingin dikagumi, atau bahkan ingin dicintai secara mutlak.

Tetapi saya juga kurang sepakat dengan sikap finalnya yang menyerukan pemadaman total. Menurut saya, keinginan bukan musuh yang harus dimatikan, melainkan teman seperjalanan yang perlu dikenali. Keinginan yang dikenali bisa menjadi guru. Ia bisa menunjukkan nilai-nilai apa yang kita pegang, ketakutan apa yang belum selesai, dan harapan macam apa yang masih bersembunyi dalam diri.

Dalam hal ini, saya melihat Rumi menawarkan wajah lain dari keinginan. Bagi Rumi, keinginan bukan sekadar dorongan biologis atau ilusi. Tetapi keinginan lebih sebagai bahasa jiwa yang rindu pada asalnya. "Keinginan yang mendalam dalam hati manusia adalah pesan dari Tuhan kepada manusia itu sendiri," tulis Rumi dalam bait-bait puisinya. Jika engkau haus, kata Rumi, itu karena air sedang mencarimu. Maka, keinginan bukan harus dimatikan, melainkan disucikan, diarahkan kembali kepada Sang Sumber.

Saya terpesona oleh cara Rumi memandang keinginan. Ia tidak melawan dorongan batin itu, melainkan menari bersamanya. Baginya, keinginan bisa menjadi api yang membakar ego, bisa menjadi jembatan menuju pemahaman, bisa juga menjadi doa tanpa kata. Tetapi di saat yang sama, saya juga menyadari adanya tantangan dari pendekatan Rumi. Bagaimana membedakan keinginan yang benar-benar lahir dari kedalaman jiwa dan keinginan yang hanya lahir dari ilusi atau luka masa lalu? Bagaimana membedakan antara cinta yang tumbuh dari kebeningan dan cinta yang tumbuh dari ketakutan ditinggalkan?

Pertanyaan-pertanyaan itu membawa saya kembali pada pengalaman pribadi. Saya pernah sangat menginginkan pengakuan, dari keluarga, dari komunitas, dari dunia akademik, dan sebagainya. Saya berpikir bahwa jika saya berhasil ini dan itu, saya akan merasa cukup. Tetapi ketika pencapaian itu datang, saya justru merasa kosong. Sama seperti kata Schopenhauer, bahwa keinginan telah membawa saya ke titik kepuasan yang segera berubah menjadi kehampaan.

Tetapi saya tidak menyerah. Saya memilih untuk duduk bersama keinginan itu. Saya bertanya padanya, dari mana asalmu? Apa yang sebenarnya engkau cari? Dan dari percakapan sunyi itu saya akhirnya tahu, bahwa sebagian keinginan saya lahir dari luka-luka lama. Keinginan untuk merasa berharga karena pernah merasa tak diinginkan. Tetapi di balik luka itu, saya juga menemukan keinginan yang lebih murni, yaitu keinginan untuk mencintai, untuk berkontribusi, dan untuk menyatu dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri.

Dari sanalah kemudian saya belajar bahwa mendudukkan keinginan bukan soal membungkam atau memuaskannya, tetapi lebih untuk mengajaknya bicara. Kadang saya membayangkan keinginan itu seperti anak kecil yang merengek. Ketika saya marah padanya atau menuruti semua maunya, ia akan tumbuh liar. Tetapi ketika saya memeluknya, mendengarkan ceritanya, mengajak ia berjalan pelan-pelan, maka ia akan tenang. Bahkan bisa berubah menjadi cahaya kecil yang membimbing saya ke arah yang benar.

Saya juga mulai menyadari bahwa tidak semua keinginan perlu dipenuhi untuk hidup bahagia. Kadang, justru saat saya membiarkan satu keinginan tak tercapai, saya menemukan ruang untuk hal lain yang lebih membahagiakan. Saya belajar menunda, menimbang, atau bahkan melepaskan. Bukan karena saya tidak peduli, tetapi lebih karena saya tahu, bahwa tidak semua hal yang saya inginkan akan membuat saya utuh.

Kehidupan modern memuja pemenuhan keinginan. Iklan, media sosial, bahkan sebagian motivator membisikkan satu hal. Kejar keinginanmu, dan jangan berhenti sebelum kamu mendapatkan semuanya. Tetapi saya memilih jalur yang lebih senyap. Saya ingin hidup yang lebih selaras, dan bukan lebih padat. Saya ingin hidup yang mendalam, dan bukan hidup yang penuh tetapi kosong.

Pada titik ini, saya merasa Schopenhauer dan Rumi sedang berdialog dalam diri saya. Schopenhauer mengingatkan saya agar tidak terjebak dalam lingkaran tanpa akhir dari pemuasan yang semu. Sementara Rumi mengajak saya menyelami keinginan sebagai jalan menuju makna. Dan saya, seperti sedang menulis catatan kaki dari percakapan mereka, lalu mencoba menjahit pandangan keduanya dalam laku hidup sehari-hari.

Saya mulai menjadikan kesunyian sebagai ruang untuk mengecek keinginan. Setiap kali saya merasa gelisah karena sesuatu yang belum saya capai, saya memilih duduk diam. Saya menuliskan apa yang saya inginkan dan mengapa saya menginginkannya. Kadang saya menemukan bahwa keinginan itu hanya bayangan dari keinginan orang lain, seperti ingin punya rumah besar bukan karena saya butuh, tetapi karena saya ingin dianggap sukses. Atau ingin menulis buku bukan karena saya mempunyai sesuatu untuk dibagikan, tetapi karena saya ingin dikenang.

Tentu saja tidak semua keinginan salah. Beberapa keinginan justru menjadi peta yang membantu saya bertumbuh. Tetapi perbedaannya ada pada kesadaran. Apakah saya mengejar sesuatu karena benar-benar berarti bagi hidup saya, atau karena saya sedang lari dari ketakutan yang belum saya akui?

Sebenarnya keinginan yang jujur bisa menjadi doa. Tetapi keinginan yang dibungkus ego juga bisa menjadi jerat. Dan yang membuat keduanya berbeda bukan isi keinginannya, tetapi lebih kepada kesadaran yang menyertainya. Di situlah seni hidup berada, yaitu bukan dalam rangka membunuh hasrat, tetapi lebih kepada bagaimana menyadarinya.

Pada akhirnya, saya tidak ingin menjadi manusia yang suci dari keinginan. Saya ingin menjadi manusia yang bersahabat dengan keinginannya. Yang mampu berkata, "saya tahu kamu ada, tetapi saya tidak harus selalu menurutimu." Yang bisa tertawa pada dorongan-dorongan impulsif, dan berkata, "terima kasih sudah mampir, tetapi mungkin bukan hari ini." Dan yang bisa mendengarkan bisikan jiwa lalu membedakannya dari teriakan ego.

Saya berharap pada titik itu, saya tidak lagi dikuasai oleh keinginan. Saya bisa berjalan bersamanya, dan bukan di bawah bayangannya. Saya tidak mematikan keinginan saya, tetapi menempatkannya pada posisi yang pantas, yaitu duduk, diam, mendengar, dan bila perlu, ikut berjalan pelan-pelan di samping saya, menuju keheningan yang lebih bermakna.


Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akar Metafisis dari Bencana Alam: Perspektif Epistemologi Irfani

Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

Filsafat Tak Tinggal di Menara Gading, Ia adalah Nafas Sehari-hari