Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

Gambar
Pernah suatu kali, seorang teman berkata dengan bercanda, "Wajahmu glowing yah kalau di foto? Tapi kalau di dekat, ternyata banyak bintik-bintiknya." Saya hanya tersenyum sambil meneguk secangkir kopi yang baru saja kuseduh. Sebenarnya, kata-katanya tidak menyakitkan, tetapi tetap meninggalkan tanda tanya di pikiran saya. Mengapa kecantikan kini seolah lebih dari sekadar pujian? Mengapa kita merasa mesti memenuhi standar glowing? Mungkin momen kecil seperti ini hanya sepele, tetapi sebenarnya menunjukkan bagaimana dunia luar terus menilai kita, meski tanpa kita memintanya. Hari ini, kita memang telah sampai pada zaman yang penuh paradoks. Di satu sisi, kita diajar untuk mencintai diri kita apa adanya. Namun di sisi lain, kita terus-menerus di bombardir dengan gambaran ideal tentang penampilan fisik, yang seakan menjadi tolok ukur nilai diri kita di mata masyarakat. Kulit putih, glowing, bercahaya, bebas jerawat, sering kali menjadi standar yang harus dipenuhi, dan sering kali...

Melawan Pelecehan Seksual: Perspektif Simone de Beauvoir

Gambar
Pelecehan seksual ibarat bayangan hitam yang merusak ruang-ruang akademik. Ia tidak datang begitu saja, melainkan tumbuh dari akar yang dalam, yaitu ketimpangan kuasa dan budaya patriarki yang mengakar selama berabad-abad. Kampus, tempat di mana ilmu pengetahuan seharusnya tumbuh subur, sering kali menjadi panggung di mana dominasi dan subordinasi dipertontonkan. Dalam The Second Sex, Simone de Beauvoir menulis dengan lantang: "Laki-laki adalah Subjek, sedangkan perempuan adalah liyan." Pernyataan ini tidak hanya menjadi refleksi sosial, tetapi juga menemukan relevansinya dalam ruang akademik. Mahasiswi yang duduk di bangku kuliah sering kali merasa menjadi "liyan," berada di bawah bayang-bayang otoritas laki-laki. Ketika kekuasaan dosen berubah dari alat mendidik menjadi alat menekan, relasi pedagogis berubah menjadi jerat kekuasaan yang membungkam. Di dalam ruang perkuliahan, konsep liyan menjadi nyata. Mahasiswi bukan sekadar peserta didik, tetapi mereka adalah y...

Akar Metafisis dari Bencana Alam: Perspektif Epistemologi Irfani

Gambar
Proses kehidupan yang sering kali diterpa bencana, Indonesia menjadi saksi dari deretan peristiwa yang menunjukkan betapa rapuhnya struktur sosial manusia saat berhadapan dengan gejolak alam. Dalam setahun terakhir (2024), data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 1.942 peristiwa bencana alam yang melanda nusantara. Mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting beliung, hingga gempa bumi dan pergerakan tanah. Tidak kurang dari 5,6 juta jiwa terdampak, menghadapi kenyataan pahit kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, bahkan anggota keluarga tercinta. Fenomena ini, seperti banjir rutin di Makassar akibat luapan Sungai Tallo dan Jeneberang, bukan sekadar statistik, tetapi manifestasi dari relasi manusia dengan ekosistemnya. Di satu sisi, perkembangan kota yang pesat sering kali mengorbankan daya dukung lingkungan. Di sisi lain, bencana memaksa kita untuk merenungkan ulang hubungan tersebut. Dalam konteks ilmiah, bencana tidak semata-mata terjadi kar...

Literasi di Kota Makassar Pasca 2024: Masih Adakah Harapan?

Gambar
Kota Makassar, yang dahulu dikenal sebagai kota intelektual, kini seolah kehilangan arah di tengah riuhnya zaman. Sebagai warganya, kita masih menyebut diri bagian dari tradisi pelaut ulung, tetapi pertanyaannya, apakah kita masih memiliki peta untuk menavigasi lautan literasi? Literasi sejati bukan sekadar tumpukan kata, tetapi sebuah kerja panjang jiwa, yang menyangkut proses membaca, merenung, dan akhirnya bergerak. Ia adalah nyala kesadaran yang membimbing kita, lebih dari sekadar informasi yang datang dan pergi. Dengan kata lain, literasi adalah jalan hidup yang mengajak kita untuk menyelami makna dalam setiap kata, simbol, dan pengalaman. Ia menghubungkan kita pada kekayaan pikiran manusia yang melampaui batas waktu dan ruang. Dengan literasi, kita tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi mengolahnya menjadi kebijaksanaan yang menggugah kesadaran akan diri kita dan hubungan kita dengan semesta. Tetapi, sampai saat ini, pasca 2024, langkah itu terasa semakin berat saja. Budaya me...

Ruang Cerdas yang Terluka: Pelecehan Seksual di Perpustakaan

Gambar
Di mana manusia menemukan dirinya, di situlah peradaban bermula. Perpustakaan, bagi banyak orang, adalah ruang yang sakral. Ia bukan sekadar bangunan penuh rak dan buku, tetapi sebuah dunia yang menggugah pikiran, menenangkan batin, dan memberi harapan. Pemikir perempuan, Simone de Beauvoir (1908-1986), dengan tepat menyatakan bahwa manusia adalah proyek yang harus terus diciptakan. Dalam ruang perpustakan, penciptaan diri menjadi mungkin, karena di sanalah pengetahuan, kontemplasi, dan refleksi bersinergi. Tetapi, bagaimana jika ruang ini kehilangan ruhnya? Bagaimana jika perpustakaan, alih-alih menjadi rumah bagi kemanusiaan, berubah menjadi arena gelap yang mencerminkan krisis moralitas? Kasus pelecehan seksual di Perpustakaan Universitas Dipa Makassar adalah tragedi yang menggugah kita untuk bertanya, masihkah perpustakaan menjadi tempat di mana kita bisa menjadi manusia yang lebih baik? Atau ia telah kehilangan martabatnya, menjadi tempat di mana nilai-nilai yang kita agungkan run...

Sindikat Uang Palsu di Perpustakaan: Sebuah Kealpaan Kolektif

Gambar
Perpustakaan kampus, dalam gambaran idealnya, adalah ruang yang seharusnya diisi dengan harapan dan semangat intelektual. Tempat bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis untuk mengasah daya nalar mereka, menjadi wadah bagi pembentukan gagasan-gagasan besar. Tetapi kenyataan yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Di balik sunyinya rak buku dan sepinya suasana, ada celah yang dimanfaatkan oleh sindikat uang palsu untuk beroperasi, seperti yang terjadi di Perpustakaan Kampus Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan kegagalan kolektif kita dalam menjaga dan memperlakukan ruang yang seharusnya menjadi pusat peradaban ini. Sindikat uang palsu, seperti orang-orang cerdas lainnya, tahu betul bahwa perpustakaan adalah ruang yang terlupakan. Di balik ketenangannya, perpustakaan tampak seolah-olah tak terjamah oleh dunia luar. Suasana yang cenderung sepi dan jauh dari keramaian menjadikannya tempat yang "aman" untuk melakukan transaksi ilegal...