CARA HIDUP



Tidak sedikit perempuan, mungkin saya salah satunya yang terjebak dalam membuat rencana kehidupan ini mesti detil. Misalnya saja, di usia tertentu sudah harus sarjana, sudah harus punya pekerjaan, punya pasangan, dan seterusnya. 

Seolah, kehidupan itu sudah punya rumus yaitu harus di dikte oleh waktu. Apa yang terjadi ketika semua rencana tidak sejalan dengan kenyataan? Muncullah rasa sedih, kecewa, putus asa dan sederet penderitaan batin lainnya.

Hidup yang berpijak pada rencana seperti ini, ternyata lahir dari tuntutan sosial. Tanpa sadar kita di bentuk dari rumah, sekolah dan masyarakat bahwa hidup mesti seiring dengan pola dan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan. 

Perlahan, kita pun menganut pola dan nilai-nilai itu menjadi bagian dari diri dan identitas kita sebagai manusia. Persis ketika kita melanggar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, maka identitas kita akan dikategori sebagai aneh atau bahkan kriminal.

Mungkin, hidup dengan perencanaan seperti ini, berawal dari satu pandangan tentang waktu. Segalanya harus di dikte oleh waktu, kita harus saling mengejar dengan waktu. Waktu itu ibarat pedang yang ketika anda tidak menggunakannya dengan baik, ia akan berbalik untuk memotongmu, dan seterusnya.

Apakah filsafat juga membincang soal waktu? Immanuel Kant memandang waktu sebagai bagian dari pikiran atau akal budi manusia. Waktu memiliki kaitan erat dengan ruang, sehingga keduanya menjadi bagian dari pikiran manusia. 

Albert Einstein juga demikian, memandang waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Pun dalam Filsafat Timur, waktu adalah persepsi manusia. Ia tidak bisa dipisahkan dari pikiran dan kedirian manusia itu sendiri.

Bagi Heidegger sendiri, ia memandang manusia sebagai makhluk yang mampu mempertanyakan dasar dari seluruh kenyataan yang ada. Dengan kata lain, manusia akan selalu berada dalam kenyataan, sehingga mampu berada dalam tiga kategori waktu sekaligus secara bersamaan, yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. 

Ketika manusia sedang berpikir, maka secara otomatis ia akan berpikir dalam tiga waktu yang berbeda, yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Begitu seterusnya, manusia akan selalu berada dalam tiga kategori waktu tersebut.

Jika mengamati pola keseharian kita, yang terjadi adalah kita menilai masa lalu sebagai kenyataan. Segala yang terjadi di masa lalu abadi dalam ingatan dan tidak jarang diingat secara berlebihan yang berujung kecemasan, penyesalan, bahkan kemarahan. 

Sama halnya dengan masa depan. Masa depan adalah kenyataan yang berwujud rencana dan ambisi. Padahal, jika diamati secara alamiah, keduanya; masa lalu dan masa depan tidak lebih bersifat bayangan semata. Ia tidak sungguh ada, sehingga memikirkannya secara berlebihan adalah sia-sia, atau malah menimbulkan masalah dan penderitaan baru bagi diri sendiri.

Saya setuju dengan pandangan bahwa kehidupan itu adalah masa kini. Yang ada adalah masa kini. Masa lalu tidaklah sungguh ada, karena ia hanya sebentuk ingatan atas peristiwa yang tak lagi ada. Masa depan juga tidak sungguh ada, karena ia hanya terbentuk dari harapan dan bayangan semata. Sehingga, jika yang ada hanyalah masa kini, maka konsep yang benar tentang waktu adalah waktu sangat bergantung pada pola pikir yang kita gunakan dalam kehidupan ini.

Hidup dalam masa lalu hanya akan merugikan kehidupan kita masa kini. Banyak beban yang sebenarnya tidak ada dihadirkan untuk menindas diri sendiri. Pun, hidup dalam masa depan akan sangat terbebani oleh rencana dan ambisi. Akibatnya adalah kita juga akan kehilangan masa kini, dan hidup dalam tegangan kecemasan terus menerus. Keduanya adalah cara berpikir yang menciptakan penderitaan, dan membuang banyak sekali energi.

Untuk hidup lebih stabil dan produktif, tidak ada salahnya belajar hidup dalam masa kini saja. Melakukan apa yang terbaik disini dan saat ini, tanpa beban masa lalu, tanpa ambisi akan masa depan. 

Salah satu dari kebijaksanaan tinggi adalah ketika manusia mampu menemukan ketenangan batin yang dalam dengan mengakar pada masa kini dan disini. Ia mempunyai ingatan akan masa lalu, tetapi tidak dijajah olehnya. Dan ia mempunyai harapan akan masa depan, tetapi tidak hidup di dalam bayang-bayangnya. Waktu adalah persepsi manusia. Waktu tidak bisa dipisahkan dari pikiran dan kedirian manusia. Keduanya sama dan tak terpisahkan.


Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akar Metafisis dari Bencana Alam: Perspektif Epistemologi Irfani

Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

Filsafat Tak Tinggal di Menara Gading, Ia adalah Nafas Sehari-hari