KAJIAN MODEL PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI SULAWESI SELATAN
KAJIAN MODEL PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI SULAWESI SELATAN.
A. Pendahuluan
Fenomena kekerasan seksual atas anak tidak hanya terjadi di Indonesia, namun telah menjadi isu global dan ancaman yang sangat serius. Nasib peradaban yang akan datang ada di tangan anak-anak hari ini, maka pendidikan yang baik dan keamanan bagi anak seharusnya menjadi perioritas dan tanggung jawab bersama. Namun realitas kehidupan anak hari ini justru sangat memprihatinkan. Anak kehilangan haknya menikmati kebebasannya dalam tumbuh-kembangnya. Anak menjadi tidak berdaya terutama ketika berhadapan dengan orang dewasa yang sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman baginya.
Terlebih anggapan yang berkembang bahwa anak adalah sosok yang lemah dan mudah diancam untuk bungkam atas segala kekerasan yang dialaminya. Tim Peneliti dari Profetik Institute merangkum hasil dialog bersama para informan terkait kekerasan seksual anak di Sulawesi Selatan, salah satunya menitikberatkan kemudahan mengakses konten pornografi di media, yang membawa pengaruh sangat besar atas maraknya kekerasan seksual anak di Sulawesi Selatan. Kehidupan digitalisasi memang penting untuk digunakan sebagaimana fungsinya yang sebenar-benarnya, namun diakses tanpa batas terutama bagi tumbuh-kembang anak justru menimbulkan kekacauan.
Sebenarnya kekerasan seksual anak sangat rentan terjadi dimana saja, bukan hanya di Sulawesi Selatan, namun seluruh daerah yang ada di Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, hasil wawancara yang dilakukan Tim Peneliti Profetik Institute bahwa sebagian besar pelaku kekerasan adalah orang yang terdekat dengan korban, dimana anak seharusnya mendapatkan perlindungan. Anak merasa aman dan menggantungkan segala sesuatunya terhadap orang-orang yang selalu membersamainya. Anak secara kognisi cenderung tidak mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi di lingkungan terdekatnya. Namun apa yang terjadi, justru anak menjadi obyek pelampiasan kesenangan seksual oleh mereka yang buta moral.
Berdasarkan UPTD DPPPA Kota Makassar, kasus kekerasan seksual anak di sepanjang tahun 2021, tercatat 302 kasus dan jumlah ini dalam tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan hingga 137 persen. Kasus serupa terjadi di Kabupaten Jeneponto pada bulan Maret 2022 lalu, dimana seorang balita menjadi korban kekerasan seksual hingga mengalami luka-luka dan pendarahan di bagian organ vitalnya. Menurut keterangan keluarga, pelaku kekerasan seksual balita tersebut tidak lain dilakukan oleh orang terdekat. Sama halnya kekerasan seksual yang terjadi di Makassar, para pelaku rata-rata orang terdekat, terutama di lingkungan keluarga sendiri.
Melihat kenyataan ini, ada beberapa hal yang penting disoroti, diantaranya adalah kondisi moralitas masyarakat yang masih sangat dangkal terutama para pelaku kekerasan seksual. Adanya destruksi pemikiran terutama dalam memahami identitas kemanusiaan anak. Minimnya kesadaran dan tanggung jawab orang tua dalam membimbing serta mengawasi anak, serta minimnya pemahaman akan keberadaan hukum serta penegakan hukum itu sendiri yang menyebabkan kasus kekerasan seksual ini terjadi berlarut-larut.
Namun sebelumnya, ada tiga hal mendasar yang penting menjadi perhatian. Pertama, pengetahuan individu terkait keberadaan energi seksual dalam diri setiap orang. Pengetahuan ini mesti ditanamkan agar tubuh perempuan bisa ditafsir dalam bingkai moralitas. Tubuh perempuan mesti ditafsir sebagai bagian dari realitas yang seharusnya dipandang dalam beragam cara. Misalnya dengan cara estetis, moralis, puitisasi, filosofis, biologis, kultural dan sebagainya, bukan hanya dengan pandangan seksualitas belaka. Pengetahuan ini sekaligus meminimalisir penyaluran seksualitas brutal masyarakat yang mengancam kehidupan anak.
Kedua, penting melakukan kajian ulang tentang nilai-nilai universal, karena masyarakat secara umum hidup dengan ajaran-ajaran yang tidak murni. Alih-alih memahami energi seksualitas secara rasional dan akal sehat, yang dilakukan justru menekannya tanpa batas atas nama agama dan moralitas. Akhirnya yang terjadi adalah penyaluran seksualitas secara brutal, tanpa rasa kemanusiaan, bahkan konflik menjadi rentan datang dalam berbagai bentuk.
Ketiga, penting mengantisipasi penyebaran pornografi di masyarakat. Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya antisipatif, namun upaya-upaya itu belum memadai karena tayangan pornografi masih begitu mudah diakses secara online. Media sosial yang diakses oleh hampir semua kalangan juga menyumbang pengaruh cukup tinggi atas kasus kekerasan seksual. Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual nanti setelah mengenal dunia maya. Berdasarkan data di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Sulawesi Selatan dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), tercatat ratusan hingga ribuan anak-anak di Sulawesi Selatan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap tahunnya.
B. Pembahasan
Pengertian anak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak termasuk kelompok rentan yang seringkali dianggap lemah, tidak berdaya, kurang memiliki power sehingga cenderung bergantung pada orang yang lebih dewasa atau yang memiliki dominasi terhadap dirinya. Anak seringkali tidak memiliki pengetahuan tentang tindak kekerasan yang dialami, juga tidak memiliki keberanian melawan ancaman yang diterimanya.
Menurut ECPAT (Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional, kekerasan seksual terhadap anak adalah hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Sedangkan menurut UNICEF, 2004, kekerasan seksual terhadap anak adalah segala aktifitas yang secara paksa dilakukan oleh orang dewasa kepada anak atau anak kepada anak lainnya, meliputi pelibatan secara komersial, bujukan, ajakan, atau paksaan terhadap anak dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuran anak.
Provinsi Sulawesi Selatan yang dikenal dengan ketinggian budayanya ternyata tidak selalu membawa keamanan bagi tumbuh-kembang anak karena sewaktu-waktu harus terancam kekerasan yang melanggar hak-hak dan membahayakan masa depan mereka. Lebih menyedihkan, kekerasan seksual anak membawa dampak serius dalam kehidupan jangka panjang anak baik secara fisik, psikologis dan sosialnya, sebagaimana rangkuman wawancara dari sejumlah informan yang dilakukan Tim Peneliti Profetik Institute. Bahkan lebih jauh, kekerasan seksual yang menimpa anak dikhawatirkan menjadi candu bagi anak sebagaimana contoh kasus yang disampaikan salah satu informan bahwa "ada anak diperkosa oleh ayah tirinya, yang dirasakan pertama kali memang rasa takut. Namun ketika kejadiannya berulang-berulang 2-3 kali, justru anak tersebut menjadi candu. Dia malah mencari 'kesenangan' serupa dengan anggota keluarganya yang lain, yaitu kakak tirinya sendiri."
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berupa pelecehan, pencabulan dan persetubuhan masih terus terjadi setiap tahunnya di hampir seluruh daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Hal ini bisa dibuktikan dari data Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Makassar yang telah menerima laporan sebanyak 774 kasus kekerasan anak atau dalam presentase 49,90 persen sepanjang tahun 2021. Mengenai pelaku kekerasan seksual, memang dominan dilakukan oleh laki-laki. Dan ini sejalan dengan data dari Komnas Perempuan yang menunjukkan sekitar 12.000 kasus kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh laki-laki. Menarik kritikan yang disampaikan salah satu informan dalam wawancara Tim Peneliti Profetik Institute, bahwa kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, sebenarnya bukan lagi penyakit mental, namun sudah membudaya karena pembiaran. Pembiaran sudah terlalu lama dilakukan, sehingga kasus kekerasan seksual menjadi biasa-biasa saja, bahkan Pesantren yang notabene sekolah keagamaan juga marak dipenuhi kasus kekerasan seksual anak.
Sedangkan kekerasan terhadap anak dalam rentang lima tahun terakhir mengalami perkembangan cukup tinggi hingga mencapai 70 persen. Misalnya di tahun 2000 ke tahun 2021 lonjakannya mencapai 86,34 persen. Kemudian untuk rekapitulasi kasus kekerasan seksual anak dari UPTD PPA Kota Makassar dalam rentang tahun 2021, sebanyak 308 kasus, diantaranya korban anak laki-laki sebanyak 23 kasus dan korban anak perempuan sebanyak 285 kasus. Selanjutnya kasus per tanggal 21 Juni 2022, sebanyak 17 kasus, diantaranya korban anak laki-laki sebanyak 3 kasus dan korban anak perempuan sebanyak 14 kasus.
Jika merujuk data kekerasan seksual anak tersebut yang terbilang cukup tinggi, bisa disimpulkan bahwa potensi kekeraan seksual masih terjadi berulang-ulang setiap tahunnya dengan beragam bentuk dan jumlah yang tidak menentu. Data tersebut juga diperkirakan bukan jumlah keseluruhan kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan karena tidak semua kasus kekerasan seksual anak dilaporkan, bahkan cenderung dirahasiakan dengan alasan menjaga nama baik keluarga atau dalam tradisi bugis disebut menjaga "budaya siri'." Penulis setuju dengan respon para informan dari wawancara Tim Peneliti Profetik Institute, bahwa kekerasan sesksual terhadap anak tidak bisa dibiarkan berlarut, mesti segera mendapatkan perhatian, dan langkah paling efektif yang harus dilakukan adalah edukasi dalam berbagai strategi, sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama demi meminimalisir atau menekan angka kekerasan semakin melonjak. Juga kasus kekerasan seksual ini penting mendapatkan penanganan hukum secara konsekuen sebagai upaya pemberian efek jera bagi para pelaku.
Salah satu faktor yang sangat signifikan dalam mempengaruhi potensi kekerasan seksual anak adalah moralitas masyarakat. Kesadaran moralitas tinggi pada setiap individu tidak akan melakukan kekerasan seksual kepada anak maupun terhadap masyarakat secara umum. Sebaliknya jika moralitas masyarakat rendah, atau rentan terjadi beragam kejahatan di dalamnya, maka bisa dipastikan masyarakat tersebut mengalami degradasi moral. Degradasi moral sendiri adalah bentuk kemunduran, kecacatan budi pekerti, kemiskinan etika atau akhlak individu dan masyarakat.
Hemat penulis, perlu dilakukan kajian ulang terkait pembacaan seksualitas. Seksualitas yang dilihat secara tabu perlu ditafsir secara rasional, dilihat dengan akal sehat dan dengan sikap terbuka. Seksualitas juga mesti dilihat dalam beragam sisi seperti, moralis, estetis, puitis, filosofis, biologis, kultural dan sebagainya, bukan hanya dengan pandangan nafsu syahwat belaka. Seksualitas adalah energi yang natural keberadaannya dalam diri setiap orang sehingga ekspresi seksual bukan di tekan tanpa batas namun diberi ruang secara terukur. Pada akhirnya, seksualitas yang ditafsir sebagai bagian penting dalam keberlangsungan hidup manusia menjadikan kekerasan lebih mudah dikontrol dan kehidupan menjadi lebih aman. Kehidupan bermasyarakat juga lebih mudah dikelola serta penegakan hukum yang masuk akal lebih mudah diterapkan.
Dalam konteks kebudayaan, Indonesia sudah memiliki budaya yang arif. Yang perlu dilakukan adalah menengok ke dalam rahim peradaban sendiri, lalu mengamalkan semua keunggulan dan keluhuran budaya yang dimiliki tersebut. Namun satu hal yang masih menjadi tugas bersama adalah bagaimana bisa membaca dengan nalar yang sehat, sikap yang kritis sehingga keluhuran budaya yang dimiliki bisa diterapkan secara bersama-bersama dalam hidup bermasyarakat. Tidak ada yang salah dari upaya mengangkat keluhuran budaya sendiri, karena justru menjadi langkah menguatkan jati diri bangsa dan identitas bangsa yang lebih murni. Tentu saja hal ini bisa dilakukan jika masyarakat menggunakan akal sehat sebagai prinsip untuk menata hidup bersama. Melatih penggunaan akal sehat tentu berawal dari kesadaran dalam menempatkan fungsi seksualitas di ruang yang sehat dan tepat.
Salah satu teori kontrol sosial; Containment Theory yang digagas oleh Walter C. Reckless (Wikipedia); "menekankan bahwa bukanlah pertanyaan tentang “mengapa seseorang melakukan kejahatan?”, namun lebih kepada “mengapa seseorang tidak melakukan kejahatan?”. Dalam hal ini, teori tersebut berada di bawah naungan paradigma positivis, dimana asas kausalitas menjadi hal yang paling dijunjung tinggi dalam upaya menjelaskan gejala sosial (kejahahatan) yang terjadi di dalam masyarakat, seperti halnya ilmu alam." Dengan kata lain, Teori Containment ini ingin menerangkan bahwa pelaku kekerasan seksual anak berada diantara dua hal, yaitu tekanan sosial dan tarikan sosial. Kekerasan seksual yang terjadi tidak selalu karena lemahnya pengendalian diri, namun juga dipengaruhi oleh lemahnya kendali struktural. Misalnya, pendidikan etika atau akhlak dari rumah, lingkungan pendidikan di semua jenjang, tradisi atau kebiasaan yang berlaku di kediaman pelaku, serta mekanisme peradilan pidana dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Berdasarkan rangkuman hasil wawancara oleh Tim Peneliti Profetik Institute, terkait hal-hal yang penting dilakukan sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak yaitu; penerapan sosialisasi pengenalan seks terhadap anak, pertama-tama dilakukan di dalam keluarga. Kemudian selanjutnya adalah di sekolah dan masyarakat, dimana pendidikan seks tersebut tidak hanya ditekankan bagi anak-anak namun juga orang dewasa. Bahkan bagi penulis, lebih penting sosialisasi pendidikan seks bagi orang dewasa karena mereka yang berpotensi menjadi pelaku saat ini. Dengan kata lain, penyimpangan seksual hanya efektif di redam jika sosialisasi ditekankan pada semuanya, dalam hal ini anak-anak dan orang dewasa.
Salah satu edukasi seks yang dilakukan terhadap anak adalah memahamkan jenis-jenis sentuhan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Hal ini penting diketahui oleh anak-anak agar mereka bisa memahami secara jelas bahwa tubuh mereka harus dijaga serta bagaimana bentuk penjagaan yang direkomendasikan. Demikian juga bagi orang dewasa, edukasi seks terhadap mereka bisa dilakukan dengan sosialisasi dari berbagai program-program pemerintah dan pemerintah daerah. Tentu saja banyak program-program pemerintah daerah yang bisa dialokasikan untuk menyelenggarakan sosialisasi tersebut di masyarakat. Dan yang terpenting, ketersediaan sumber daya yang berkompeten dan punya kapabilitas dalam menangani sosialisasi program ini.
Hal lain yang bisa dilakukan dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak adalah pembentukan atau pendidikan karakter. Masyarakat yang terdidik secara moral diawali dari pendidikan karakter yang mumpuni, yang dilakukan sejak dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Tidak ada yang lebih penting selain keluarga yang mengambil peran utama dalam membendung runtuhnya tatanan moral masyarakat dan menjadi tempat perlindungan pertama bagi anak. Lalu kemudian, sekolah dan masyarakat juga melakukan berbagai upaya sebagai bentuk tanggung jawab untuk pendidikan karakter terbangun dalam masyarakat sebagaimana mestinya. Pendidikan karakter yang dimaksud dapat meliputi pembentukan sikap, etika, tabiat, akhlak, serta kepribadian yang stabil sehingga mampu merespon situasi apapun secara bermoral. Pada akhirnya, cerminan karakter yang baik yang terbangun dalam masyarakat adalah bentuk penanganan dari degradsi moral yang sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman besar bagi bangsa dan negara.
C. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa hal yang bisa ditarik sebagai kesimpulan yaitu, bahwa kekerasan seksual terhadap anak dalam berbagai jenisnya seperti pelecehan, pencabulan dan persetubuhan masih sangat rentan terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga kota di Sulawesi Selatan yang menjadi penyumbang terbanyak kekerasan seksual terhadap anak adalah Kota Makassar, Kota Pare-Pare dan Kota/Kabupaten Gowa. Sulawesi Selatan yang dikenal dengan ketinggian budayanya ternyata tidak selalu membawa keamanan bagi tumbuh-kembang anak karena sewaktu-waktu harus terancam kekerasan yang melanggar hak-hak dan membahayakan masa depan mereka.
Dari hasil penelusuran data kekerasan seksual terhadap anak di Sulawesi Selatan, dinyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi terbilang cukup tinggi, sehingga potensi kekerasan seksual diperkirakan terjadi berulang-ulang setiap tahunnya dengan beragam bentuk dan jumlah yang tidak menentu. Data yang ada diperkirakan bukan jumlah keseluruhan kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan karena tidak semua kasus kekerasan seksual anak dilaporkan, bahkan cenderung dirahasiakan dengan alasan menjaga nama baik keluarga atau dalam tradisi bugis disebut menjaga "budaya siri'." Penyebab kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya ditentukan oleh pengendalian diri atau kondisi internal individu, namun yang lebih mendominasi sebagaimana rangkuman dari wawancara yang dilakukan Tim Peneliti Profetik Institute adalah pengaruh teknologi, kurangnya pendidikan etika dan pengawasan dalam keluarga, lingkungan, minimnya pendidikan seks secara dini dalam keluarga, serta mekanisme peradilan pidana yang juga terkendala.
Kekerasan seksual terhadap anak di Sulawesi Selatan, jelas tidak bisa dibiarkan, harus mendapat perhatian lebih serta langkah yang tegas berupa edukasi dalam berbagai strategi, sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama demi meminimalisir atau menekan angka kekerasan semakin melonjak. Adapun sosialisasi pendidikan seks yang dilakukan harus seimbang antara anak dan orang dewasa, pendidikan karakter sejak dini, dan sistem hukum yang ada harus dikawal sebaik mungkin. Moralitas demikian penting karena masyarakat yang terdidik secara moral diawali dari pendidikan karakter yang mumpuni, yang dilakukan sejak dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Tidak ada yang lebih penting selain keluarga yang mengambil peran utama dalam membendung runtuhnya tatanan moral masyarakat dan menjadi tempat perlindungan pertama bagi anak.
Dari berbagai solusi yang ditawarkan, diharapkan dapat meminimalisir tindak kekerasan seksual terhadap anak kedepannya, sehingga mereka punya kesempatan yang sama dengan semua manusia untuk tumbuh dalam hak dan kemerdekaan yang sama. Anak adalah juga manusia, mereka punya hak dan kewajiban yang sama, mereka adalah tanggung jawab orang tua, tanggung jawab keluarga, institusi pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Sudah seharusnya anak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, termasuk perlindungan penuh untuk keamanan jangka panjang hidup mereka. Pemerintah sangat bisa melakukan berbagai macam program perlindungan anak yang didukung dengan pengawasan dan hukum, sehingga anak mempunyai ruang yang aman untuk tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus kebanggaan Provinsi Sulawesi Selatan kedepannya.
Penulis: Sitti Nurliani Khanazahrah, M. Ag.
Catatan: Tulisan ini adalah epilog dari buku yang berjudul - Model Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak di Sulawesi Selatan. Sebuah kajian riset yang bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Komentar
Posting Komentar