JATI DIRI
Tubuh manusia tidak hanya segumpal daging, tetapi ia juga segumpal keajaiban. Kenapa ajaib, karena tubuh manusia memiliki beragam mekanisme yang amat kompleks.
Sistem saraf yang bekerja dengan harmonis, sistem pencernaan dan juga sistem pernapasan yang saling terhubung secara menyeluruh. Tubuh manusia bukan hanya sebentuk zat atau benda, melainkan sebuah rancangan yang berkesinambungan.
Dalam sejarah pemikiran manusia, ada beragam tafsiran tentang tubuh manusia. Di antaranya, tubuh dianggap penghalang bagi manusia untuk mencapai kebenaran sejati. Pandangan ini umumnya terdapat dalam perspektif keagamaan.
Dalam pemikiran tradisional Timur, seperti tradisi yoga di India, tubuh justru dianggap alat terpenting untuk mencapai pencerahan. Jika saja manusia dapat memahami kompleksitas dan kecanggihan tubuhnya, kesehatan fisik ataupun pencerahan pikiran bisa lebih berkembang.
Selain tubuh, manusia juga mempunyai unsur penting seperti pikiran dan emosi. Tubuh, pikiran, dan emosi semuanya dibentuk oleh lingkungan sosial, lalu kemudian tumbuh dan menemukan porsi personalnya.
Pikiran berisi segala konsep, doktrin, dan pandangan hidup yang diajarkan oleh lingkungan sosial. Begitu pula emosi adalah unsur pikiran yang mengental, sehingga memengaruhi reaksi tubuh.
Sama seperti tubuh, pikiran dan emosi adalah kepemilikan diri, namun itu bukanlah jati diri manusia yang sebenarnya. Jati diri manusia lebih dari sekedar tubuh fisik yang dimiliki.
Demikian juga prestasi, gelar, pekerjaan, harta kekayaan yang dimiliki, itu semua bukanlah jati diri yang sebenarnya. Manusia dalam kehidupan materialnya tidak lebih hanya berjalan melintasi waktu, menyanyi sambil menari, merayakan semua kekosongan atau ke-fana-an di bumi ini.
Pada kenyataannya, jati diri manusia adalah “kehidupan” itu sendiri. Di balik semua bentuk pemikiran yang dimiliki terdapat kehidupan. Kehidupan yang memungkinkan tubuh manusia melakukan berbagai proses alami yang kompleks, seperti mencerna makanan dan memproses informasi dari dunia luar.
Pemikir Muslim, Seyyed Hossein Nasr, menyebut kehidupan adalah keteraturan alam semesta itu sendiri, yang kemudian ia identikkan dengan Pikiran Ilahi.
Dalam pemikiran tradisional India, kehidupan dimaknai sebagai ruang di mana semua konsep dan emosi terbentuk. Kehidupan memungkinkan lahirnya ingatan dan keterampilan berpikir konseptual. Namun, daya ingat dan kemampuan berpikir konseptual tidak berpengaruh langsung terhadap hal tersebut.
Jika manusia dapat mengenali keberadaan “kehidupan” ini dalam dirinya, maka perubahan pada tubuh, pikiran, dan emosinya tidak akan mempengaruhinya.
Pada kenyataannya, lebih banyak yang mengira bahwa jati dirinya adalah tubuhnya sendiri. Mereka juga hidup hanya untuk memuaskan hasrat fisik mereka. Mereka menjadi serakah akan kekayaan dan nama besar.
Bahkan, mereka rela mengorbankan orang lain demi memuaskan hasrat fisiknya. Selain itu, banyak orang yang menganggap pikiran dan perasaannya adalah dirinya sendiri.
Ketika pikiran mereka kacau, mereka pun menderita. Ketika emosi sedang tidak stabil, maka depresi akan melanda. Fluktuasi pikiran dan emosi dapat sangat menyiksa batin seseorang.
Ini adalah kesalahpahaman mendasar dalam kehidupan manusia. Jika mengidentifikasi diri sekedar tubuh, pikiran, dan emosi, hidup akan kacau. Keserakahan akan harta dan nama besar tidak terbendung. Tekanan emosional akan menyusahkan untuk hidup dengan stabil.
Tubuh memang perlu dirawat. Namun perlu juga membangun jarak dengan tubuh sendiri. Seiring waktu, tubuh akan melemah dan akan menemukan kematiaannya. Demikian juga pikiran dan emosi perlu dirawat.
Namun, jarak dengannya juga sangat penting. Pikiran dan emosi seringkali berubah-ubah naik turun sehingga berujung pada depresi. Pandailah menari, “Katakan ya pada kehidupan dengan segala kerumitannya” tutur Nietzsche.
Ket: Tulisan ini juga bisa di akses di Paraminda.com. https://paraminda.com/2024/06/23/jati-diri/

Komentar
Posting Komentar