Jejak Pagi dan Dilema Eksistensial
Pagi itu, di meja makan yang sunyi, saya duduk sendiri saja. Di hadapan saya, ada secangkir kopi yang masih mengepul dan sepiring roti yang baru saja keluar dari panggangan. Keheningan pagi terasa begitu akrab, semilir angin yang merayap masuk melalui jendela yang terbuka menambah kesegaran.
Seperti biasa, saat pikiran masih jernih, pertanyaan begitu mudah muncul dalam pikiran saya. Yang sering kali muncul adalah pertanyaan seputar kehidupan. Mengapa saya hidup? Untuk apa saya menjalani semua ini? Bahkan dalam hal sederhana seperti sarapan pagi, hidup membawa saya pada sebuah dilema yang sulit untuk kuhindari.
Sokrates, orang paling bijaksana di masanya, pernah mengatakan, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dijalani.” Pernyataan ini sering kali terngiang di benak saya, bukan saat berada di seminar filsafat yang berat, tetapi justru di momen seperti ini, di mana secangkir kopi menguar harum dan suara detak jam terdengar perlahan.
Apa sebenarnya yang kita lakukan dengan hidup kita? Kita berlari dari satu pertemuan ke pertemuan yang lain. Mengejar sesuatu yang terkadang tidak kita pahami sepenuhnya. Hidup, dalam segala rutinitasnya, sering kali membuat kita lupa. Kita berjalan, tetapi entah kemana tujuannya. Kata Blaise Pascal, “Semua masalah manusia datang dari ketidakmampuannya untuk duduk tenang, sendirian, di dalam sebuah ruangan.”
Sederhananya, menurut Sokrates, hidup yang tidak direfleksikan adalah seperti berjalan tanpa arah. Kita terus melangkah, tetapi tidak tahu apa tujuan kita atau apa makna di balik langkah itu. Dalam refleksi, kita menyadari kesalahan, memahami tujuan, dan menemukan arah baru. Tanpa refleksi, hidup hanya jadi rutinitas, seperti makan, tidur, bangun, bekerja, tetapi tanpa arti yang mendalam.
Refleksi membantu manusia lebih memahami apa yang penting, apa yang mendekatkan pada kebahagiaan, dan apa yang menjadikan hidup lebih bermakna. Hidup yang tidak direnungkan bukan hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan esensinya. Refleksi adalah kunci agar manusia tidak sekadar hidup, melainkan benar-benar menikmati dan menghargai kehidupan itu sendiri.
Manusia: Antara Hasrat dan Integritas
Hidup manusia itu seperti layar kapal yang terentang. Selalu diombang-ambingkan antara gelombang hasrat dan keinginan, tetapi di sisi lain, ada nilai-nilai yang kita anggap sakral seperti cinta, integritas, dan kebijaksanaan.
Manusia, di satu sisi, terikat pada kebutuhan biologis dasarnya, seperti makan, minum, seks, seperti halnya binatang. Tetapi di sisi lain, kita memiliki kemampuan untuk merenung, merasa dan mencintai. Inilah dilema pertama yang muncul dalam hidup kita. Senada yang pernah dikatakan Nietzsche, “Manusia adalah tali yang terentang antara binatang dan Tuhan, sebuah tali yang tergantung di atas jurang.”
Coba lihat seorang ibu yang bangun pagi, menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Sepotong roti bakar yang hangat, telur, dan secangkir susu yang ia buat dengan tangannya sendiri. Apakah makanan itu hanya sekadar untuk mengisi perut yang lapar? Jawabannya, tidak. Di dalam setiap potongan roti, ada cinta, ada perhatian, ada usaha yang ia curahkan.
Dalam setiap hidangan yang disajikan, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga menciptakan makna dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Inilah yang membedakan kita dengan binatang. Kita tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar kita, tetapi kita juga menciptakan makna dari setiap tindakan kita. Jean-Paul Sartre berkata, “Kita tidak dilahirkan dengan makna, kitalah yang menciptakannya.”
Dalam keseharian kita, sering kali kita terjebak dalam perasaan yang penuh ketegangan. Di satu sisi, kita harus memenuhi kebutuhan biologis kita yang bersifat mendasar, tetapi di sisi lain, ada hasrat yang lebih dalam untuk mengejar nilai-nilai yang lebih tinggi, seperti cinta kasih yang tulus, penghargaan terhadap diri, dan integritas yang sejati. Ketegangan ini muncul ketika kita mencoba menemukan keseimbangan antara kebutuhan dasar dan tujuan yang lebih mulia dalam hidup.
Apa yang harus dilakukan? Kata Rumi, “Jangan khawatir tentang masa depan, tetapi temukan keseimbangan dalam hidupmu, karena saat kita bisa menjaga kedamaian dalam diri, dunia pun akan terasa damai.” Keseimbangan hidup terletak pada kesadaran diri dan pengelolaan waktu yang bijak. Menyelaraskan kebutuhan fisik dengan pencarian makna hidup adalah kunci untuk menemukan rasa damai. Refleksi diri dan menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain menjadi langkah penting untuk mencapai harmoni.
Hidup: Sebuah Persiapan untuk Kematian
Di secangkir kopi, ada sesuatu yang jarang kita pikirkan, yaitu singkatnya hidup ini. Setiap cangkir yang kita nikmati membawa kita lebih dekat kepada akhir yang pasti, yaitu kematian. Albert Camus, dalam pemikirannya tentang absurditas hidup, mengatakan bahwa hidup kita tampak tidak bermakna karena pada akhirnya kita harus mati.
Namun ironisnya, sering kali kita hidup seakan-akan kematian itu tidak akan pernah datang. Kematian, meskipun ada di setiap detik hidup kita, sering kali diabaikan karena kesibukan-kesibukan dunia.
Sering kali kita terjebak dalam ilusi keabadian, dalam kebohongan bahwa hidup ini bisa berjalan tanpa akhir. Kita mengisi keseharian kita dengan hal-hal yang kosong, tanpa menyadari bahwa waktu kita semakin terbatas. Di kota-kota besar, orang-orang terus berlari mengejar ambisi. Mereka lupa bahwa setiap langkah kaki kita semakin mendekati akhir.
Seharusnya kita hidup dengan kesadaran bahwa kita terbatas. Tetapi kesadaran itu justru kita hindari. Kita memilih untuk takut, dan ketakutan itu kita sembunyikan dengan kesibukan yang seolah-olah berarti. “Kematian adalah tujuan akhir dari hidup,” kata Heidegger, “tetapi hidup itu sendiri adalah tujuan yang harus kita temui dengan kesadaran.”
Kesendirian dan Kebersamaan: Dialog yang Tak Pernah Usai
Ada dilema lain yang tak kalah penting. Yaitu, antara keinginan untuk hidup sendiri dan kebutuhan untuk kebersamaan. Aristoteles pernah menyebut kita sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa lepas dari hubungan dengan orang lain.
Kita ingin hidup bebas, tetapi kita juga ingin dicintai. Kita ingin sendiri, tetapi kita juga takut akan kesepian. Begitulah manusia, dalam kesendirian kita merasa penuh, tetapi dalam kebersamaan kita merasa kosong.
Saat kita duduk di meja sarapan dengan ponsel di tangan, bukankah itu simbol dari dilema eksistensial kita? Kita terhubung dengan dunia luar, dengan notifikasi yang terus berdatangan, tetapi di dalam hati kita merasa kosong.
Dalam suatu hubungan, kita mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan fisik. Kita menginginkan hubungan yang autentik, yang mendalam, di mana jiwa bisa saling terhubung. Sebagaimana ungkapan Martin Buber, “Aku adalah aku dalam relasi dengan engkau.” Itu adalah kebersamaan yang lebih dari sekadar hadir secara fisik, melainkan juga secara spiritual.
Menemukan Harmoni dalam Ketidaksempurnaan
Di setiap langkah hidup, kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan eksistensial. Apakah kita hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, atau apakah kita mencari sesuatu yang lebih? Apakah kita bisa berdamai dengan kenyataan bahwa kita adalah makhluk terbatas, yang tidak sempurna, namun terus berusaha mencari makna dalam setiap langkah?
Pada akhirnya, hidup adalah perjalanan menuju ketidaksempurnaan yang sempurna. Dalam segala keterbatasan kita, kita masih memiliki potensi untuk menemukan harmoni. Dalam ketidaksempurnaan kita, ada kesempurnaan yang dapat dirayakan. Seperti yang dikatakan Lao Tzu, “Ketidaksempurnaan adalah kesempurnaan sejati.”
Pagi itu, saat kopi saya mulai dingin dan roti di piring hampir habis, saya tersenyum lirih. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, ada momen-momen kecil yang mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menarik nafas, dan menyadari bahwa hidup ini, meskipun rumit dan penuh dilema, selalu ada ruang untuk kita rayakan.
Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah*
Komentar
Posting Komentar