Catatan Kecil Saat Membaca Novel "Saman"
Ada novel ketika selesai dibaca akan segera terlupa, namun ada pula novel yang menyisakan jejak, seperti aroma tanah setelah terkena hujan. Novel berjudul “Saman” karangan Ayu Utami ini masuk di kategori kedua.
Novel ini tidak sekadar bercerita, tetapi lebih jauh menyelinap ke dalam tubuh, ke dalam ingatan, bahkan ke dalam percakapan sunyi antara jiwa dan dunia. Ia hadir seolah ingin mengingatkan kita bahwa di balik tubuh perempuan yang lama dibungkam, ada bahasa lain yang terus mencari bentuknya.
Saya membaca "Saman" bukan karena penasaran pada kontroversi yang selalu mengiringinya. Tetapi lebih karena ingin mengetahui seperti apa suara perempuan ketika ia benar-benar dibiarkan berbicara. Bukan hanya tentang cinta, namun juga tentang tubuh, iman, dan dunia yang seringkali mengirisnya dalam diam.
Hemat saya, Ayu utami menuliskan novel ini dengan sangat gentar dan tenang. Ia seperti membuka jendela ke ruang-ruang yang selama ini diselimuti kabut. Melalui tokoh-tokohnya, seperti Laila, Shakuntala, Yasmin, Cok, dan Saman, kita diajak untuk menyaksikan perempuan bukan sebagai simbol atau objek, melainkan sebagai manusia yang utuh, dengan luka dan hasrat, keyakinan dan kegelisahan. Mereka berpikir dan merasakan, mencintai dan menggugat, serta mencari makna dalam seluruh ketakterdugaan hidup.
Dalam konteks ini, ketika dikaitkan dengan pemikiran Julia Kristeva (1941), seorang filsuf asal Prancis yang melihat bahwa bahasa bukan semata alat komunikasi, namun juga sebagai ruang tempat tubuh berbicara. Kristeva menyebut adanya semiotik chora, yaitu semacam wilayah sebelum bahasa yang bisa diucapkan, tempat bahasa belum lahir namun sudah terasa, seperti dalam irama, nada, dan gerak.
Di sinilah kemudian, tubuh terutama tubuh perempuan yang sering disingkirkan dalam budaya patriarki bisa menemukan suaranya. Novel "Saman" persis seperti ditulis dari ruang ini. Narasinya tidak lurus, tetapi berlapis dan lentur, kadang membingungkan, tetapi justru sangat menghidupkan. Seperti tarian Shakuntala, yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, namun bisa dirasakan oleh kepekaan.
Perempuan dalam "Saman" tidak diposisikan sebagai penjaga moral. Mereka lebih sebagai manusia yang merumuskan ulang cinta dan dosa, iman dan kebebasan. Shakuntala menari bukan untuk menggoda, namun untuk berdo'a. Yasmin berselingkuh bukan karena kehilangan cinta, namun karena mencari ruang untuk bernafas dalam dunia yang mengekang.
Demikian juga Laila mencintai Saman bukan sebagai pahlawan, namun sebagai sesama yang terluka oleh sejarah dan sistem. Di tengah pilihan mereka yang rumit itu, kita menemukan ruang untuk bertanya bahwa: Mungkinkah perempuan bisa menyelamatkan dirinya sendiri tanpa menjadi bayangan laki-laki? Atau haruskah ia merumuskan kebebasannya sendiri, dalam bahasa yang lahir dari tubuh dan pengalaman?
Kristeva pernah mengatakan bahwa perempuan harus "mewartakan yang tak terkatakan" - to speak the unspeakable, dan Ayu Utami melakukannya. Ia menulis tubuh perempuan sebagai wilayah spiritual dan sekaligus politis. Seksualitas yang sering disebut liar dalam novel ini, justru muncul dari keinginan untuk menyucikan tubuh dari dosa yang tak pernah ia ciptakan. Dalam "Saman", tubuh bukan hanya tempat kenikmatan, namun juga sebuah ruang pengakuan. Tempat luka, tempat iman, dan tempat kebenaran yang tak bisa didustakan.
Lalu kemudian ada Saman sendiri. Sosok yang dilempar dari langit ke tanah, dari altar ke lumpur. Seorang pastor yang meninggalkan gereja demi membela petani, demi cinta, dan demi sesuatu yang lebih luhur dari dogma. Ia kehilangan Tuhan dalam bentuk yang lama, tetapi mungkin justru menemukan wajah-Nya yang lebih sejati, seperti di tubuh-tubuh yang menderita, dalam cinta yang tak bisa dijelaskan, atau dalam luka-luka yang tak sempat sembuh. Di situlah mungkin, pesan paling sunyi dari novel ini berbicara, bahwa cinta sejati seringkali lahir dari pengkhianatan terhadap bentuk-bentuk yang telah kehilangan makna.
Novel ini juga berbicara tentang tubuh dan kuasa. Tubuh perempuan, tubuh lelaki, dan tubuh institusi, seperti gereja, negara, korporasi, yang kesemuanya ingin mengatur hidup sedetail mungkin. Seksualitas menjadi politik. Cinta menjadi arena pertarungan. Lalu tubuh menjadi tempat makna-makna saling berbenturan. Maka tidak heran jika novel ini mengguncang bukan hanya dalam dunia sastra, namun juga nilai-nilai yang selama ini diterima begitu saja. Dan karena ia memang mengangkat hal yang paling ditakuti oleh kekuasaan, yaitu kebebasan yang tidak minta izin.
Namun Ayu Utami tidak jatuh pada sikap mengagungkan perempuan semata. Ia tahu betul, bahwa menjadi perempuan tidak otomatis berarti bijak atau benar. Ia mengizinkan tokohnya keliru, berdosa, bahkan munafik sekalipun. Karena yang diperjuangkan bukan kesempurnaan, melainkan kejujuran, karena dalam kejujuran itulah, justru kemanusiaan mereka terasa begitu membatin.
Kita juga tidak bisa membaca "Saman" tanpa melihat latar sejarahnya, yaitu Indonesia di akhir Orde Baru. Masa ketika suara dibungkam, sensor merajalela, dan perempuan dikonstruksi sebagai penjaga moral negara lewat konsep seperti State Ibuism yang dibahas Julia Suryakusuma. Dalam situasi seperti itu, tubuh perempuan tidak boleh bersuara, apalagi menulis. Maka ketika Ayu menulis tubuh perempuan yang merdeka, ia sekaligus merobohkan tembok sensor, baik yang resmi maupun yang tersembunyi dalam pikiran kolektif.
Saya juga tertarik untuk mengaitkan "Saman" ini dengan pemikiran Hélène Cixous (1937) tentang écriture feminine, yaitu cara menulis yang menyalurkan tubuh perempuan dan tidak tunduk pada aturan narasi laki-laki. "Saman" hampir menjadi wujud nyata dari gagasan ini. Ia ditulis dengan keberanian yang menolak garis lurus, dengan irama yang berubah seperti nafas, dan dengan bahasa yang kadang melompat tetapi justru menyentuh bagian terdalam pembaca.
Secara bentuk dan estetikanya, "Saman" tidak menawarkan kenyamanan narasi. Ia lebih seperti puzzle yang harus dirangkai perlahan. Ini bukan sekadar gaya, namun lebih sebagai sikap. Karena kenyamanan seringkali menjadi cara halus untuk meninabobokan. Sepertinya Ayu tahu betul, bahwa jika ingin membangunkan kesadaran, maka bahasa harus digoyang.
Lalu saya melihat ada sisi spiritual dalam novel ini. Ketika Saman sebagai mantan pastor dibaca dengan kacamata Jung (1875-1961), kita bisa melihat perjalanannya sebagai proses individuasi, sejenis pencarian jati diri yang utuh. Ia harus keluar dari institusi untuk menemukan makna spiritual yang hidup dalam pengalaman nyata, seperti dalam cinta, dalam penderitaan, bukan semata dalam ritual atau doktrinal.
Novel ini sebenarnya masih relevan dalam konteks hari ini. Misalnya ketika perempuan terus berjuang untuk menyuarakan tubuh dan pikirannya, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Atau ketika cinta masih diatur, dan tubuh masih dikontrol oleh moral publik yang bias. Juga ketika iman masih dikurung dalam batas-batas yang begitu sempit.
Di akhir halaman novel ini, saya lalu menyadari bahwa novel ini bukan hanya tentang perempuan. Ia lebih tentang keberanian menjadi diri sendiri di dunia yang terlalu sering memberi tahu bagaimana seharusnya kita hidup, mencinta, dan beriman. Ia juga tentang tubuh yang akhirnya menemukan bahasanya sendiri, meskipun harus merangkak dari puing-puing sejarah dan kesenyapan.
Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.

Komentar
Posting Komentar