Pena dan Pulih: Ketika Journaling Menjadi Meditasi Harian




Pagi terasa dingin, ketika gerimis perlahan membasuh jendela kamar saya. Butir-butir kecilnya menyapu kaca, meninggalkan jejak embun yang memburamkan pandangan ke luar. Di sudut meja, sebuah buku catatan terbuka, masih menyimpan tinta dari tulisan kemarin yang belum sepenuhnya kering.

Ada keheningan yang menguar, seolah kata-kata yang tertinggal masih ingin menyampaikan sesuatu. Di dalam ruang sunyi itulah saya kembali menemukan makna menulis sebagai jalan pulang. Pulang kepada diri sendiri, yang mungkin saja sedang terluka, letih, atau bahkan merasa asing di tengah keramaian dunia.

Saya percaya bahwa ibadah tidak selalu bersandar pada gerakan ritual. Terkadang, ia tumbuh dari keberanian untuk menyelami diri sendiri. Misalnya, dari goresan yang jujur, atau dari keheningan yang dipeluk. Dalam praktik itulah saya mengenal journaling. Sebuah aktivitas sederhana yang lambat-laun menjadi semacam laku spiritual harian saya. Ia bukan semata kegiatan mencatat kejadian, tetapi lebih sebagai upaya memahami, memeluk, dan memulihkan.

Mungkin banyak yang mengira bahwa journaling hanyalah sekadar rutinitas kreatif, atau anjuran populer dari psikolog-psikolog masa kini. Tetapi bagi saya, ia lebih dalam daripada itu. Ia lebih sebagai meditasi yang pelan, hening, dan jujur. Journaling bisa membangun kembali jembatan yang pernah runtuh antara tubuh dan jiwa. Juga menjadi upaya untuk melawan lupa. Lupa bukan sekadar terhadap peristiwa, tetapi lebih terhadap siapa diri kita yang sebenarnya.

Di masa sekarang, di mana segalanya menjadi serba cepat dan penuh sorotan, kita sebenarnya jarang benar-benar hadir untuk diri sendiri. Kita lebih banyak sibuk tampil, sibuk memenuhi ekspektasi, tetapi lupa menatap cermin di dalam batin. Melalui aktivitas journaling, saya bisa belajar hadir secara utuh. Bukan untuk dipamerkan, tetapi lebih untuk diakui. Bukan untuk disukai, tetapi lebih untuk disadari.

Carl Rogers (1902-1987), tokoh besar psikologi humanistik, pernah mengatakan bahwa penerimaan tanpa syarat terhadap diri sendiri adalah fondasi dari pertumbuhan personal. Menulis jurnal menjadi bentuk penerimaan itu, tempat segala yang tak rapi, tak selesai, bahkan yang tak sempat terucap, ditampung dan dirawat. Ia semacam rahim bagi kata-kata yang enggan lahir ke ruang publik, tetapi tetap ingin hidup dalam kesendirian.

Socrates (470-399 SM), pernah berkata, hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang sia-sia. Di tengah gemuruh dunia modern, journaling menjadi jalan sunyi untuk mewujudkan saran filosofis itu. Menulis bukan sekadar mencatat, tetapi lebih kepada merenungkan, mengapa peristiwa itu menggugah emosi, mengapa luka itu masih terasa, atau mengapa hari ini begitu berat.

Pernah suatu ketika di kelas, seorang mahasiswa bertanya, “Apakah journaling bisa menyembuhkan luka?” Saya terdiam sejenak. Bukan karena tak tahu jawabannya, tetapi karena tahu bahwa luka memiliki bahasanya sendiri. Lalu saya menjawab, “Tidak semua luka bisa sembuh. Tetapi journaling bisa membuat kita tidak merasa sendirian.”

Dalam The Art of Loving, Erich Fromm (1900-1980) menyebut cinta sebagai tindakan aktif. Mencintai diri sendiri bukan bentuk narsisme, tetapi lebih sebagai keberanian untuk hadir secara utuh, dengan segala aib dan kegagalan yang kita sembunyikan. Menulis adalah bentuk cinta itu. Dan dalam jurnal, kita tidak perlu menjadi versi terbaik dari diri, tetapi cukup menulis jujur, bahkan jika itu hanya berupa kalimat sederhana, seperti: "Hari ini saya sangat lelah."

Sebenarnya, menulis jurnal tidak butuh teknik yang rumit. Juga tidak harus buku mahal, pena indah, atau layout bullet journal yang menawan. Ia lebih sebagai laku hati. Seperti meditasi yang membuka simpul-simpul pikiran, journaling mengurai kekusutan jiwa. Seperti doa yang tak bersuara, journaling adalah permohonan diam agar beban hari ini tidak terlalu berat.

Saya teringat Thomas Merton (1915-1968), seorang biarawan dan penulis spiritual yang konsisten menulis jurnal selama puluhan tahun. Dalam catatan pribadinya, Merton menulis bukan untuk dikenal, tetapi bagaimana untuk tetap utuh. Ia menulis dalam keraguan, kegembiraan, bahkan dalam kehilangan. “Writing,” tulisnya, “is a form of prayer.”

Dan memang, menulis bisa menjadi doa. Saya meyakini hal ini. Saat kata-kata tak sanggup terucap, pena bisa menjadi lidah kedua. Ketika menulis, kita bisa menyampaikan harapan, ketakutan, dan penyerahan. Bukan doa liturgis, tetapi sejenis sujud batin, pada kejujuran, pada rasa yang tak bisa dikisahkan, atau pada Tuhan yang kadang terasa jauh tetapi tak pernah pergi.

Byung-Chul Han (1959), dalam The Burnout Society, menggambarkan manusia modern bukan sebagai makhluk yang diperbudak oleh sistem, tetapi yang menindas dirinya sendiri dengan ideal tentang produktivitas dan kesempurnaan. Dalam konteks ini, journaling adalah bentuk perlawanan yang lembut. Kita menulis bukan untuk menjadi sempurna, tetapi lebih untuk mengakui bahwa kita lelah, dan itu tidak apa-apa.

Saya punya seorang teman yang setiap malam menulis di jurnalnya sebelum tidur. Katanya, itu ruang paling jujur tempat ia bisa berkata jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Di sana, ia bisa mengakui hal-hal yang tak bisa dibicarakan, bahkan kepada pasangan hidupnya. Jurnal menjadi rumah baginya. Tempat ia tak perlu menjelaskan, dan tak perlu pura-pura kuat.

Simone Weil (1909-1943), menyebut penderitaan sebagai pengalaman spiritual yang sunyi. Di dalam keheningan itu, kata Weil, kita mungkin bersua dengan sesuatu yang melampaui logika dan rutinitas. Journaling bisa menghadirkan keheningan itu dalam keseharian. Ia membuat kita berhenti, bukan untuk menyerah, tetapi lebih untuk mendengar. Mendengar napas sendiri. Mendengar jerit yang tertahan. Dan mendengar kasih yang belum terucap.

Bagi saya, jurnal bukan hanya tempat menyimpan masa lalu, tetapi lebih sebagai ruang untuk menanam harapan. Bukan ramalan, melainkan doa dalam bentuk tulisan. Harapan bahwa luka ini akan sembuh. Harapan bahwa esok akan lebih baik. Dan harapan bahwa kita sedang tak sendiri.

Saat ini, journaling sering dirayakan sebagai gaya hidup estetik. Sampul harus cantik, pena mesti mewah, foto lilin aromaterapi di media sosial, dan sebagainya. Tak ada yang salah dengan itu. Tetapi mari kita ingat, bahwa esensinya bukan di sana. Esensinya ada pada keberanian untuk jujur. Untuk mengaku, dan untuk berkata, bahwa saya memang rapuh, dan itu tidak mengurangi nilainya diriku.

Martin Heidegger (1889-1976) pernah menulis tentang Dasein, yaitu keberadaan manusia yang sadar akan dirinya sendiri. Bagi saya, journaling adalah bentuk menyapa kesadaran itu. Kita menulis bukan untuk dikenang orang, tetapi lebih untuk diakui oleh diri sendiri bahwa kita pernah merasa, pernah hidup, dan pernah bertahan.

Tentu tak semua pertanyaan butuh jawaban. Kadang kita hanya perlu tempat untuk berkata, saya sedang tidak baik-baik saja. Jurnal menyediakan ruang itu. Tanpa penilaian, tanpa interupsi, dan tanpa nasihat yang tak diminta. Dan sebenarnya, journaling adalah sahabat yang tak pernah bosan untuk mendengar.

Suatu hari, kita mungkin akan membuka halaman lama. Kita membaca kembali catatan lampau yang ditulis sambil menangis. Dan mungkin, kita akan tersenyum, karena tahu bahwa, ternyata saya pernah terluka sedalam ini, dan saya masih bertahan sampai hari ini.

Jurnal menjadi saksi pertumbuhan kita. Ia adalah bukti bahwa kita pernah jatuh dan memilih bangkit. Di tengah dunia dengan serba kecepatan, journaling mengajarkan kita untuk diam sejenak. Di tengah dunia yang menuntut produktivitas, menulis jurnal memberi kita hak untuk sekadar menjadi. Bukan siapa-siapa, bukan pencapaian, tetapi hanya manusia yang sedang belajar menerima.

Saya tak tahu apakah journaling bisa menyembuhkan segalanya. Tetapi saya tahu, bahwa journaling bisa menjadi jalan pulang. Pulang ke hati yang tak ingin lagi bertarung. Pulang ke jiwa yang ingin istirahat. Dan pulang ke diri yang sedang berlatih mencintai lagi. Karena mungkin saja, itu yang paling kita butuhkan. Bukan kesembuhan instan, bukan validasi, dan bukan kata-kata motivasi. Tetapi ruang yang sunyi, tempat kita bisa menulis dengan lega, bahwa hari ini saya masih bertahan. Dan jika esok saya gagal lagi, itu pun tak apa-apa.

Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akar Metafisis dari Bencana Alam: Perspektif Epistemologi Irfani

Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

Filsafat Tak Tinggal di Menara Gading, Ia adalah Nafas Sehari-hari