Self-Diagnosis dan Label Mental: Antara Kesadaran dan Kebingungan Kolektif
Pernahkah kamu mendengar seseorang berkata, “Aku ini kayaknya ADHD deh,” atau “Aku ini anxious parah,” padahal ia belum pernah sekalipun duduk dengan psikolog atau psikiater? Sebenarnya, fenomena semacam ini semakin lazim di lini masa kita.
Di tengah ledakan informasi dan kesadaran akan kesehatan mental, masyarakat justru terjebak dalam paradoks, semakin sadar, tetapi juga semakin bingung. Mereka seringkali mendeklarasikan diagnosis untuk dirinya sendiri, seolah label mental menjadi identitas baru yang membentuk eksistensi.
Saya sendiri bukan tidak mengapresiasi meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental. Bahkan, ini adalah langkah awal yang baik, karena membuka ruang percakapan yang selama ini ditabukan. Tetapi, ketika kesadaran itu berkembang menjadi banjir label tanpa pemahaman yang cukup, kita pun perlu menarik napas dan mulai bertanya ulang. Apakah kita sedang menyembuhkan diri, atau justru memperpanjang kebingungan kolektif?
Dua pemikir penting, Michel Foucault (1926-1984) dan Thomas Szasz (1920-2012), cukup menggelitik nalar saya. Mereka memang bukan terapis, dan mereka tidak menawarkan solusi instan. Tetapi dari mereka saya belajar bahwa cara kita memaknai kegilaan, penyakit, dan diagnosis itu sendiri, adalah sesuatu yang tidak bisa kita lepaskan dari konstruksi sosial, kekuasaan, dan relasi wacana. Mereka mengajak kita untuk berpikir, siapa yang berhak menentukan normal dan tidak normal? Dan apa konsekuensi dari label yang kita sematkan kepada diri sendiri?
Michel Foucault, dalam karyanya Madness and Civilization, menyuguhkan sebuah pembacaan sejarah tentang bagaimana "kegilaan" berubah wajah, dari pengalaman spiritual ke objek medis. Ia menunjukkan bahwa apa yang kita sebut 'gila' itu tidaklah bersifat tetap. Abad pertengahan memandang orang gila sebagai makhluk yang memiliki kedekatan dengan transendensi. Tetapi pada abad ke-18, masyarakat modern memenjarakan mereka dalam rumah sakit jiwa, dan menundukkan mereka lewat logika medis. Diagnosis akhirnya bukan sekadar soal penyembuhan, tetapi lebih tentang kekuasaan. Siapa yang boleh bicara, siapa yang dibungkam, dan siapa yang diberi legitimasi untuk menentukan 'kewarasan'.
Saya pribadi bersetuju dengan Foucault bahwa label medis tidak pernah netral. Ia lahir dari jaringan kekuasaan dan wacana tertentu yang mengatur apa yang sah disebut sebagai "normal". Maka ketika anak-anak muda hari ini dengan mudahnya menyebut dirinya "anxious" hanya karena susah tidur atau "ADHD" karena mudah bosan saat kuliah, kita harus perlu bertanya. Apakah label itu muncul dari pemahaman mendalam, atau sekadar bentuk keterjebakan dalam budaya pop psikologis?
Akan tetapi, saya juga kurang sependapat dengan Foucault dalam satu hal. Yaitu dalam usahanya membongkar kekuasaan di balik institusi medis, karena ia cenderung mengabaikan sisi terapeutik yang sungguh dibutuhkan oleh banyak orang. Tidak semua diagnosis itu opresif. Karena dalam banyak kasus, diagnosis yang akurat justru menjadi awal dari proses penyembuhan. Sepertinya Foucault terlalu fokus pada sisi gelap wacana, dan kurang memberi ruang pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh ingin sembuh.
Pemikir kedua, Thomas Szasz, menurut saya lebih radikal lagi. Dalam bukunya The Myth of Mental Illness, Szasz berpendapat bahwa penyakit mental bukanlah penyakit dalam arti medis, tetapi lebih sebagai konstruksi sosial. Baginya, menyebut perilaku manusia yang menyimpang sebagai "penyakit" adalah bentuk patologisasi terhadap keberagaman. Ia menolak gagasan bahwa gangguan mental dapat diperlakukan layaknya penyakit fisik. Menurutnya, label-label seperti skizofrenia atau depresi adalah cara masyarakat untuk mengontrol individu.
Saya mengerti mengapa Szasz bisa sampai pada kesimpulan ini. Karena di banyak titik, saya bersetuju dengannya. Memang ada kecenderungan untuk terlalu cepat memedikalisisasi masalah hidup. Ketika seseorang merasa cemas menghadapi masa depan, kita buru-buru memberinya label "anxious disorder", padahal bisa jadi ia hanya sedang bergulat dengan makna hidup yang begitu kompleks. Kita butuh lebih banyak ruang untuk mendengarkan, dan bukan untuk langsung menamai atau menjustifkasi.
Tetapi saya juga merasa Szasz terjebak dalam dikotomi yang terlalu ekstrem. Ia cenderung menghapus kenyataan bahwa ada jutaan orang yang benar-benar menderita secara mental, dan butuh bantuan profesional. Bagi saya, menolak label sama sekali, justru bisa menutup pintu menuju pemulihan. Dan saya kira, tantangannya bukan pada label itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana kita memahaminya. Apakah sebagai alat bantu, atau sebagai stempel yang sudah permanen.
Tak dipungkiri, fenomena self-diagnosis hari ini tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya digital. Kita hidup dalam zaman algoritma yang menggiring kita pada konten-konten psikologi populer, seperti: "Lima tanda kamu ADHD", "Kalau kamu begini, bisa jadi kamu bipolar", dan sebagainya. Konten ini memang memberi rasa terhubung. Tetapi di saat yang sama, ia bisa menjerumuskan orang ke dalam jebakan simplifikasi. Diagnosis bukan lagi hasil observasi profesional yang panjang, melainkan hasil kuis 1 menit seperti di TikTok.
Belum lagi, di balik maraknya self-diagnosis, ada juga hasrat eksistensial, yaitu keinginan untuk selalu dipahami, untuk memiliki identitas, dan untuk menemukan tempat dalam dunia yang serba kacau. Di sinilah label menjadi semacam jaring pengaman. Ia memberi nama pada kegelisahan. Tetapi jika terlalu bergantung padanya, kita bisa kehilangan kedalaman dalam memahami diri. Kita bahkan bisa berhenti bertanya, dan mulai menetap di zona nyaman definisi.
Tetapi saya kira, di sinilah peran komunitas, pendampingan, dan pendidikan menjadi penting. Kita membutuhkan ruang-ruang reflektif di mana orang bisa diajak berpikir kritis tentang label mental, dan bukan sekadar mengkonsumsinya. Kita perlu narasi tandingan yang tidak anti-psikologi, tetapi juga tidak larut dalam euforia label.
Dalam pengembaraan saya sebagai pendidik, saya sering mendapati mahasiswa yang begitu cepat merasa dirinya "overthinking", "anxious", atau "burnout", padahal jika ditelusuri lebih dalam, mereka hanya belum terbiasa menghadapi tekanan. Kadang kita memang hanya butuh tidur cukup, relasi yang hangat, dan ruang untuk gagal tanpa dihakimi. Tidak semua kegelisahan harus diberi nama ilmiah. Karena kadang, yang kita butuhkan hanyalah dipeluk dalam pengertian.
Tentu saja saya tidak sedang mengajak kita untuk mengabaikan psikologi atau menertawakan mereka yang sedang berjuang secara mental. Tidak. Tetapi justru sebaliknya. Kita harus lebih bijak dan kritis dalam memaknai apa itu sehat dan tidak sehat secara mental. Kita harus mampu membedakan antara kesedihan biasa dengan depresi klinis, antara distraksi sesaat dengan ADHD yang nyata. Dan ini hanya bisa dilakukan jika kita berhenti mencari diagnosis instan dari media sosial, dan mulai membangun literasi psikologi yang utuh dan kontekstual.
Karena bagi saya, menjadi manusia berarti juga harus bersedia hidup dalam dinamika dan ambiguitas. Tidak semua harus dijelaskan, dan tidak semua harus diberi label. Kadang kita hanya perlu duduk diam, menenangkan diri, dan menerima bahwa hidup memang pelik. Kesembuhan tidak selalu datang dari nama yang kita sematkan, tetapi dari keberanian kita untuk memahami, merawat, dan merangkul diri yang rapuh, tanpa tergesa-gesa menghakimi.
Sehingga dari itu, saya mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk kembali pada pertanyaan dasar. Mengapa kita melabeli diri? Apakah itu karena kita ingin sembuh, atau karena kita ingin diterima dalam komunitas yang punya bahasa sakit yang sama? Di antara dua kutub ini, bagi saya, kita harus mencari keseimbangan. Karena terlalu percaya pada label bisa membelenggu, tetapi menolaknya mentah-mentah juga bisa membutakan.
Pada akhirnya, kesadaran akan kesehatan mental adalah anugerah zaman ini. Sebuah cahaya yang menembus kegelapan yang selama ini disembunyikan di balik senyuman, rutinitas, dan tuntutan sosial. Tetapi, cahaya itu menuntut kedewasaan baru, yaitu kedewasaan untuk tidak tergesa menamai setiap luka, tidak terburu-buru mengklaim setiap emosi sebagai gangguan. Ia menuntut keberanian untuk diam, untuk tinggal sejenak dalam ketidakpastian, dan mendengar jeritan sunyi yang selama ini bersemayam di balik rapuhnya jiwa. Karena memahami diri bukanlah perkara diagnosis, tetapi lebih sebagai laku mencintai diri dengan mendengar, merangkul, dan memaafkan suara-suara kecil yang selama ini kita abaikan.
Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.

Komentar
Posting Komentar