Toxic Positivity: Antara Semangat Palsu dan Sunyi yang Terluka




Langit sangat cerah hari itu, ketika saya baru saja selesai menemani seorang sahabat lama yang sedang dalam fase hidup yang sulit. Ia baru saja bercerai, kehilangan pekerjaan, dan rasa bersalah yang menumpuk setelah merasa gagal memenuhi ekspektasi orang tua.

Kami duduk di pinggir pantai, tak jauh dari sebuah warung, tempatnya memesan kopi tadi. Ia mengaduk kopinya, lalu menghela napas panjang sambil berkata, "Saya sangat lelah, tetapi semua orang bilang saya harus kuat, harus ikhlas, dan harus tetap semangat. Saya menjadi bingung, apakah saya memang tidak boleh merasa lemah?"

Pertanyaan itu terdengar biasa, tetapi sesungguhnya memuat keresahan besar. Saya hanya terdiam. Tetapi dalam hati, saya pun pernah menanyakan hal yang sama pada diri sendiri. Dalam hidup yang serba penuh tekanan ini, mengapa kita merasa perlu terus-menerus tersenyum, bahkan ketika hati sedang retak? Mengapa ada rasa bersalah ketika kita tidak mampu merasa bahagia?

Kita memang hidup di tengah masyarakat yang terobsesi dengan kata-kata motivasi. Di mana-mana, kita melihat ajakan untuk berpikir positif, bersyukur, semangat, vibrasi tinggi, dan afirmasi yang tak ada habisnya. Seolah-olah emosi negatif adalah virus yang harus segera dieliminasi. Tidak ada ruang untuk kecewa, marah, atau terluka. Semuanya harus ditutupi dengan kalimat manis. Inilah yang kini dikenal sebagai toxic positivity.

Toxic positivity adalah dorongan terus-menerus untuk menampilkan emosi positif dan menolak atau menekan emosi negatif, bahkan ketika emosi itu valid dan wajar. Ia tampak seperti empati, tetapi sesungguhnya cenderung mengabaikan kenyataan emosi manusia. Ketika seseorang bercerita tentang kelelahan mental, lalu dijawab dengan, "Kamu harus bersyukur, masih banyak yang lebih menderita," maka sebenarnya kalimat itu bukan untuk menguatkan, tetapi lebih ke membungkam.

Tak dipungkiri, budaya kita pun sangat gemar merayakan kebangkitan. Kita menyukai kisah-kisah tentang "jatuh bangun menuju sukses." Kita angkat mereka yang telah melewati badai dan kembali bersinar. Tetapi kita sering tak tahu harus bersikap bagaimana kepada mereka yang masih berada dalam badai. Kita tak sabar menunggu orang sembuh. Kita ingin mereka cepat-cepat pulih dan kembali produktif, seperti semula.

Persoalannya adalah tidak semua luka bisa sembuh dengan cepat. Tidak semua kesedihan bisa dibereskan dengan afirmasi. Dan tidak semua orang punya kekuatan yang sama untuk bangkit. Sehingga ketika toxic positivity merajalela, mereka yang sedang jatuh justru semakin merasa gagal, karena tak sanggup menunjukkan senyuman di tengah luka.

Viktor Frankl (1905-1997), seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, dikenal lewat bukunya Man's Search for Meaning. Ia menekankan pentingnya makna dalam menghadapi penderitaan. Ia menulis bahwa manusia dapat bertahan dalam situasi paling mengerikan sekalipun jika ia memiliki makna yang bisa digenggam. Dalam hal ini, saya bersetuju dengan Frankl, bahwa penderitaan yang diberi makna bisa menjadi sumber kekuatan. Bahwa rasa sakit tidak harus dihindari, tetapi bisa dilalui dengan kesadaran dan tujuan hidup yang jernih.

Tetapi saya juga merasa Frankl belum cukup menggarisbawahi kenyataan bahwa tidak semua orang punya akses atau kapasitas untuk langsung menemukan makna di tengah penderitaan. Kadang, seseorang butuh waktu lama untuk sekadar menyadari bahwa ia sedang terluka. Dalam konteks ini, pendekatan Frankl yang filosofis dan heroik bisa terasa agak terlalu idealis. Ia cocok untuk orang yang telah berada dalam tahap refleksi, dan bukan untuk mereka yang baru belajar menyebut rasa sakitnya.

Sementara itu, Susan David (1970), seorang psikolog dari Harvard, dalam bukunya Emotional Agility, menawarkan pendekatan yang lebih membumi. Ia mendorong kita untuk mengenali dan menerima semua jenis emosi yang baik maupun buruk tanpa menghakimi. Emosi negatif, menurutnya, bukan penghalang kebahagiaan, tetapi bagian penting dari proses tumbuh. Saya sangat setuju dengan pendekatan ini. Karena kita tidak bisa memilih untuk hanya merasakan yang enak-enak saja. Kematangan emosional justru hadir saat kita mampu duduk bersama kesedihan, dan bukan mengusirnya.

Namun demikian, pendekatan Susan David juga bisa berisiko jika tidak disertai kesadaran struktural. Ia berbicara pada konteks kelas menengah terdidik, yang memiliki waktu, ruang, dan sumber daya untuk mengelola emosi. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang harus tetap bekerja saat sedang depresi? Atau yang tak bisa mengambil cuti karena beban hidup? Dalam hal ini, kita juga perlu mengkritisi bagaimana diskursus kesehatan mental masih sering berputar dalam ruang-ruang yang cukup eksklusif.

Kritik ini penting, karena budaya positivity sering kali hadir sebagai "respon cepat" atas ketidakberdayaan struktural. Kita dituntut untuk tetap semangat bukan karena memang sembuh, tetapi lebih karena sistem tidak memberi ruang untuk jatuh. Misalnya, seorang pekerja yang mengalami burnout tetap dipaksa hadir dan tersenyum karena takut kehilangan pekerjaan. Atau seorang ibu rumah tangga yang tertekan tetap harus tampil ceria karena beban moral sebagai perempuan.

Saya sendiri pernah mengalami fase di mana saya merasa kosong, tetapi tidak berani mengakuinya karena takut dianggap lemah. Saya pun menulis jurnal, menyusun afirmasi, mengikuti kelas mindfulness, dan memasang foto-foto indah dengan kutipan Rumi di Facebook dan Instagram. Tetapi semakin saya menutupi rasa sakit itu, semakin hampa yang saya rasakan. Hingga akhirnya saya berhenti. Saya lalu duduk diam dan bertanya, “Apa yang sebenarnya saya rasakan?” Ternyata saya hanya butuh menangis. Tidak untuk disemangati. Dan tidak untuk diberi solusi. Saya hanya ingin dimengerti.

Dari pengalaman itu, saya akhirnya belajar bahwa penyembuhan bukan soal kecepatan, tetapi lebih soal keberanian untuk jujur. Bahwa tidak semua luka harus cepat sembuh. Tidak semua emosi harus digantikan. Dan tidak semua orang harus tampak selalu bahagia. Karena terkadang, yang paling menyembuhkan adalah seseorang yang tidak menyuruh kita untuk bangkit, tetapi mereka yang bisa duduk diam dan menunggu bersama kita, hingga kita siap untuk melangkah lagi.

Byung-Chul Han (1959) dalam The Burnout Society menyebut bahwa masyarakat kini dikuasai oleh semangat performa. Bahkan penyembuhan menjadi proyek performatif. Kita harus sembuh dengan cara yang indah. Kita harus tetap bisa dipotret. Dan harus tetap bisa dijadikan konten. Bagi saya, ini bukan penyembuhan, tetapi lebih sebagai pertunjukan.

Saya merasa, inilah titik kritis dari toxic positivity. Ia bukan hanya sikap individu, tetapi telah menjadi norma sosial yang ditegakkan oleh sistem yang menolak kerentanan. Kita tidak diberi ruang untuk rapuh. Kita tidak diberi waktu untuk jatuh. Kita harus selalu kuat, selalu semangat, dan selalu harus positif. Akibatnya, kesedihan menjadi sesuatu yang harus disembunyikan. Padahal di situlah letak kejujuran kita sebagai manusia.

Saya pribadi percaya bahwa cinta sejati kepada diri bukanlah tuntutan untuk menjadi kuat setiap saat, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa kita juga bisa lemah. Dan dari kelemahan itulah, kita bisa mulai mengenal diri. Kita mulai menemukan makna, bukan dalam senyuman palsu, tetapi dalam kesediaan untuk hadir utuh bersama luka.

Sehingga ketika hari ini kamu merasa lelah, merasa tak baik-baik saja, tak perlu merasa bersalah. Tak perlu terburu-buru sembuh. Dan tak perlu dipaksa terlihat kuat. Cukup tarik napas. Duduk sejenak. Dengarkan tubuhmu. Rasakan hatimu. Dan percaya bahwa kamu tetap manusia, bahkan ketika kamu sedang jatuh. Karena sesungguhnya, kita bukan robot yang harus selalu semangat. Kita adalah manusia yang juga berhak merasa sedih, dan dengan itu, justru yang membuat kita lebih utuh.


Oleh: Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akar Metafisis dari Bencana Alam: Perspektif Epistemologi Irfani

Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

Filsafat Tak Tinggal di Menara Gading, Ia adalah Nafas Sehari-hari