Toxic Positivity: Antara Semangat Palsu dan Sunyi yang Terluka
Langit sangat cerah hari itu, ketika saya baru saja selesai menemani seorang sahabat lama yang sedang dalam fase hidup yang sulit. Ia baru saja bercerai, kehilangan pekerjaan, dan rasa bersalah yang menumpuk setelah merasa gagal memenuhi ekspektasi orang tua. Kami duduk di pinggir pantai, tak jauh dari sebuah warung, tempatnya memesan kopi tadi. Ia mengaduk kopinya, lalu menghela napas panjang sambil berkata, "Saya sangat lelah, tetapi semua orang bilang saya harus kuat, harus ikhlas, dan harus tetap semangat. Saya menjadi bingung, apakah saya memang tidak boleh merasa lemah?" Pertanyaan itu terdengar biasa, tetapi sesungguhnya memuat keresahan besar. Saya hanya terdiam. Tetapi dalam hati, saya pun pernah menanyakan hal yang sama pada diri sendiri. Dalam hidup yang serba penuh tekanan ini, mengapa kita merasa perlu terus-menerus tersenyum, bahkan ketika hati sedang retak? Mengapa ada rasa bersalah ketika kita tidak mampu merasa bahagia? Kita memang hidup di tengah masyarakat...