Postingan

Toxic Positivity: Antara Semangat Palsu dan Sunyi yang Terluka

Gambar
Langit sangat cerah hari itu, ketika saya baru saja selesai menemani seorang sahabat lama yang sedang dalam fase hidup yang sulit. Ia baru saja bercerai, kehilangan pekerjaan, dan rasa bersalah yang menumpuk setelah merasa gagal memenuhi ekspektasi orang tua. Kami duduk di pinggir pantai, tak jauh dari sebuah warung, tempatnya memesan kopi tadi. Ia mengaduk kopinya, lalu menghela napas panjang sambil berkata, "Saya sangat lelah, tetapi semua orang bilang saya harus kuat, harus ikhlas, dan harus tetap semangat. Saya menjadi bingung, apakah saya memang tidak boleh merasa lemah?" Pertanyaan itu terdengar biasa, tetapi sesungguhnya memuat keresahan besar. Saya hanya terdiam. Tetapi dalam hati, saya pun pernah menanyakan hal yang sama pada diri sendiri. Dalam hidup yang serba penuh tekanan ini, mengapa kita merasa perlu terus-menerus tersenyum, bahkan ketika hati sedang retak? Mengapa ada rasa bersalah ketika kita tidak mampu merasa bahagia? Kita memang hidup di tengah masyarakat...

Self-Diagnosis dan Label Mental: Antara Kesadaran dan Kebingungan Kolektif

Gambar
Pernahkah kamu mendengar seseorang berkata, “Aku ini kayaknya ADHD deh,” atau “Aku ini anxious parah,” padahal ia belum pernah sekalipun duduk dengan psikolog atau psikiater? Sebenarnya, fenomena semacam ini semakin lazim di lini masa kita. Di tengah ledakan informasi dan kesadaran akan kesehatan mental, masyarakat justru terjebak dalam paradoks, semakin sadar, tetapi juga semakin bingung. Mereka seringkali mendeklarasikan diagnosis untuk dirinya sendiri, seolah label mental menjadi identitas baru yang membentuk eksistensi. Saya sendiri bukan tidak mengapresiasi meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental. Bahkan, ini adalah langkah awal yang baik, karena membuka ruang percakapan yang selama ini ditabukan. Tetapi, ketika kesadaran itu berkembang menjadi banjir label tanpa pemahaman yang cukup, kita pun perlu menarik napas dan mulai bertanya ulang. Apakah kita sedang menyembuhkan diri, atau justru memperpanjang kebingungan kolektif? Dua pemikir penting, Miche...

Tentang Keinginan dan Cara Kita Menghadapinya

Gambar
Keinginan adalah denyut halus yang membuat manusia selalu merasa hidup. Ia seperti suara kecil dalam dada yang berbisik, "ada sesuatu di luar sana yang mungkin membuatmu lebih utuh." Suara itu bisa lembut seperti desir angin senja, tetapi bisa juga membahana, menyeret kita ke jalan yang tak selalu kita rancang. Saya pribadi telah lama bergumul dengan suara itu. Bukan untuk mematikannya, melainkan untuk duduk bersamanya, berbincang dalam diam, dan mencoba memahami, apa sebenarnya yang ia inginkan? Dalam permenungan saya, dua tokoh yang kiranya menarik untuk membahas perihal keinginan ini. Mereka datang dari dua dunia yang berbeda, yaitu Arthur Schopenhauer (1788-1860), sang filsuf pesimis dari Barat, dan Jalaluddin Rumi (1207-1273), sang penyair cinta dari Timur. Schopenhauer berbicara dalam bahasa kehampaan, sementara Rumi menari dengan cahaya. Dan di antara keduanya, saya mencoba merangkai cara untuk mendudukkan keinginan. Schopenhauer memandang keinginan sebagai sumber utam...

Pena dan Pulih: Ketika Journaling Menjadi Meditasi Harian

Gambar
Pagi terasa dingin, ketika gerimis perlahan membasuh jendela kamar saya. Butir-butir kecilnya menyapu kaca, meninggalkan jejak embun yang memburamkan pandangan ke luar. Di sudut meja, sebuah buku catatan terbuka, masih menyimpan tinta dari tulisan kemarin yang belum sepenuhnya kering. Ada keheningan yang menguar, seolah kata-kata yang tertinggal masih ingin menyampaikan sesuatu. Di dalam ruang sunyi itulah saya kembali menemukan makna menulis sebagai jalan pulang. Pulang kepada diri sendiri, yang mungkin saja sedang terluka, letih, atau bahkan merasa asing di tengah keramaian dunia. Saya percaya bahwa ibadah tidak selalu bersandar pada gerakan ritual. Terkadang, ia tumbuh dari keberanian untuk menyelami diri sendiri. Misalnya, dari goresan yang jujur, atau dari keheningan yang dipeluk. Dalam praktik itulah saya mengenal journaling. Sebuah aktivitas sederhana yang lambat-laun menjadi semacam laku spiritual harian saya. Ia bukan semata kegiatan mencatat kejadian, tetapi lebih sebagai up...

Akademia: Antara Gedung Indah dan Kelesuan Intelektual

Gambar
Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya ketika membaca catatan seorang cendekia, yang sekaligus dosen saya, Prof. M. Qasim Mathar. Beliau seorang akademisi yang tidak hanya berpikir tetapi lebih untuk merasakan denyut kampus sebagai ruang hidup intelektual. Dalam tulisannya yang berjudul Kegersangan Akademik (Jendela Langit, 12 Juli 2025), Prof. Qasim berbagi cerita dari seorang sahabatnya, mahasiswa doktoral di Sydney, yang merindukan suasana kampus yang dulu hidup oleh tulisan dan diskusi. Sebuah masa di mana satu artikel koran cukup untuk memantik dialog panjang antara mahasiswa dan dosen. Tetapi kini, tulis-menulis menjadi beban administratif. Diskusi kian langka. Akademisi tenggelam dalam rutinitas birokrasi yang kering dan tak menyisakan ruang untuk berpikir jernih. Dalam suasana inilah, beliau mengajak kita semua, dosen, mahasiswa, bahkan kampus pesantren sekalipun, untuk bersama-sama menghidupkan kembali apa yang pernah menjadikan universitas begitu bernyawa. Kampus seharusnya ...

Politik Ketakutan: Perang, Nuklir, dan Ketidakadilan Dunia

Gambar
Pagi ini, Selasa 24 Juni 2025, saya memandangi beranda media sosial yang semakin hari dipenuhi berita perang. Di antara kabar konflik itu, satu judul yang mencuri perhatian saya, yaitu: "Iran kembali memperkaya uranium hingga mendekati kadar senjata." Berita itu melintas begitu saja, lalu tenggelam di antara unggahan tentang cuaca, harga sembako, dan berita politik. Sepertinya dunia kini terbagi menjadi dua, antara mereka yang menjalani keseharian dengan segala beban hidupnya, dan mereka yang, entah di ruang rapat atau pangkalan militer, sedang sibuk menentukan nasib umat manusia. Namun bagi saya, berita itu menyisakan kegelisahan. Bukan karena Iran memperkaya uranium, tetapi karena dunia kembali bereaksi dengan kepanikan yang selektif. Negara-negara besar mengecam. Amerika bersuara lantang. Israel mengancam. Dan dunia, yang terbiasa dengan narasi satu arah, kembali menelan anggapan bahwa senjata nuklir di tangan Iran adalah ancaman, sementara ratusan hulu ledak nuklir yang d...

Sebuah Perjalanan Pemikiran: Telaah atas Perjalanan Lintas Batas Karya Musdah Mulia

Gambar
Tak bisa disangkal, kita hidup dalam dunia yang gemar memberi batas. Antara laki-laki dan perempuan, antara Muslim dan non-Muslim, antara yang disebut saleh dan yang dituduh sesat. Dalam realitas yang sarat sekat itu, buku ini hadir seperti hujan pertama yang menyapa tanah kering. Membawa harapan, menyuburkan dialog, dan merayakan perjumpaan. Perjalanan Lintas Batas bukan sekadar judul. Tetapi lebih sebagai kesaksian. Kesaksian seorang perempuan, cendekia, dan pejuang yang berjalan menembus sunyi meski tubuh terluka, pikiran yang mengendap, dan hati yang masih percaya bahwa iman dan cinta bisa menjembatani segala yang koyak. Buku ini bukan sekadar refleksi, tetapi lebih sebagai doa panjang yang dirangkai dalam narasi yang jujur, halus, dan tajam. Prof. Musdah menulis buku ini, bukan dari menara gading akademik, tetapi dari lorong-lorong perjuangan. Dari ruang-ruang dialog antar-iman yang hangat meski tegang, dari sunyi perempuan yang disalahpahami oleh tafsir yang kaku, dari perjalana...

Antara Makna dan Hampa: Tragedi Bunuh Diri Akademisi

Gambar
  Pagi yang benar-benar sunyi, ketika kabar tentang kematian tak lagi datang dari kecelakaan lalu lintas, antrean rumah sakit atau bencana alam, tetapi dari ruang akademik. Sebuah tempat yang semestinya menjadi lumbung ilmu dan kehidupan. Beberapa waktu lalu, tepatnya Jumat, 11 Juli 2025, seorang dosen di Universitas Negeri Makassar mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengejutkan. Ia gantung diri, meninggalkan warisan pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang. Mengapa seseorang yang tampak begitu terdidik, begitu mapan dalam kariernya, justru memilih untuk pergi secara tragis? Sebenarnya, fenomena bunuh diri di kalangan akademisi bukanlah hal yang baru, meski sering kita bungkam dalam diam. Di balik toga, artikel jurnal, dan gelar akademik, ada kehidupan manusia yang tak kebal dari sunyi, cemas, dan kelelahan eksistensial. Mereka yang setiap hari membahas teori dan metodologi, ternyata bisa juga kehilangan pegangan untuk menjalani hidupnya sendiri. Albert Camus (1913-1960)...

Silaturahmi Intelektual Bersama Prof. Musdah Mulia

Gambar
Lebaran haji tahun ini, terasa istimewa. Saya berkesempatan silaturahmi ke kediaman Prof. Musdah Mulia di Makassar. Rasanya, bukan hanya silaturahmi biasa tetapi lebih sebagai silaturahmi intelektual yang hangat dan membekas. Prof. Musdah berbicara banyak hal. Seperti literasi, agama, budaya, pendidikan, keadilan, dan banyak lagi. Saya senang dengan gaya bertutur Prof. Musdah yang hangat, dan cukup memperkaya pikiran. Salah satu hal yang kami bincangkan adalah soal gelar akademik. Di Indonesia, gelar seolah menjadi jimat. Ia membuka pintu karier, menegaskan status sosial, bahkan menentukan siapa yang layak bicara dan siapa yang layak diam. "Kalau orang bodoh bisa menjadi doktor dan profesor, kenapa orang pintar tidak bisa?" Kata Prof. Musdah. Kalimat itu tak dimaksudkan sebagai cemoohan, melainkan sebagai dorongan. Bahwa ilmu dan gelar tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi disinergikan. Bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh berpikir, seharusnya juga mengambil posisi penti...